Esai #11: Sastra dan Perdamaian
Sastra
dan Perdamaian
Nia Nur
Pratiwi
Masalah perdamaian dunia ini kini
sangat disorot tajam. Perdamaian bukan saja menjadi pemicu adanya ketenangan
dan kesejahteraan. Akan tetapi, lebih kepada penempataan hak-hak manusia pada
tempat yang sudah semestinya. Sebagaimana dalam sebuah peperangan pasti akan
ada hak hak yang terampas dan di pihak lain ada yang menyelahgunakan hak mereka
dengan cara cara keji. Perdamaian merupakan wacana Internasional maupun
regional. Pasalnya kedamian dan ketentraman dunia menghasilkan peradaban yang
berkemajuan tanpa adanya isu-isu terorisme, kejahatan hak asasi manusia,
radikalisme dan upaya-upaya penjatuhan kekuasaaan atau upaya makar dalam sebuah
bangsa, isu yang berkaitan dengan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) serta
kabar lain yang mengusik perdamaian dunia.
Tolerance adalah sikap
kelapangan dada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Toleransi adalah
sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling
berhubungan dengan penuh tanggugjawab. Sedangkan Intoleransi berasal dari “i”
yang bermakna tidak dan ”toleransi” sikap tenggang rasa atau lapang
dada. Maka dapat disimpulkan bahwasannya sikap Intoleransi adalah sikap ketiadaan
tenggang rasa, sehingga memicu tindak kekerasan yang dipicu oleh adanya
ketiadaan tenggang rasa, misalnya ada di antara kelompok pemuda. Mereka berbeda
pendapat mengenai keputusan musyawarah dalam rapat antar pemuda di desa, salah
satu dari mereka menginginkan pendapatnya untuk disetujui sedangkan pendapat
salah seorang yang lain dari kubu yang lain, meginginkan juga untuk disetujui,
namun dari mereka tidak ada sikap lapang dada atau tenggang rasa, sehingga
memicu konflik diantara mereka.
Berbicara mengenai Intoleransi tidaklah lepas
dari karakteristik masyarakat Indonesia yang multikultural, yang memiliki
kemajemukan suku, bangsa, budaya dan tipe masyarakat yang tidak bisa
disamaratakan satu daerah dengan daerah yang lain. Masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang
masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti
kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda dalam kesederajatan (C.W. Watson, 1998). Oleh karena itu, dalam
sebuah masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi konflik vertikal dan
horizontal yang dapat menyebabkan sebuah kelompok masyarakat, dalam artian
luasnya sebuah bangsa akan berada pada kondisi rawan kehancuran.
Sebut
saja sepanjang tahun 2018, di Indonesia berderetan kasus-kasus penyerangan
tempat ibadah, rohaniyawan dan kejadian lain yang menyebutkan kalau itu
merupaka rasa intoleran kepada umat beragama. Seperti dilansir dalam media
pemberitaan nasional, penyerangan terhadap gereja Katolik Santa Maria di
Surabaya beberapa bulan lalu yang menjadi sangat disorot oleh media adalah
pelakunya merupakan satu keluarga . Dan melancarkan serangan dengan menggunakan
bom serta mengorbankan diri mereka sendiri atau biasa disebut dengan bom bunuh
diri. Kemudian ada juga kasus mengenai persekusi
biksu, berama biksu Mulyanto di desa Babat, yang menyangka bahwa dia akan
menggelar ritual kegamaan dirumahnya dan menganggap jika ia akan memasukan
warga desa Babat ke dalam agama Budha.
Kasus
lain juga menimpa wajah umat Islam yang mana penganiyayaan terhadap para ulama
dan tokoh tkh Islam secara brutal. Penganiyayaan terhadap ulama Pimpinan Pusat
Persatuan Islam (Persis) H.R. Prawoto, oleh oang tidak dikenal pada bulan
Februari, hingga nyawanya tidak bisa diselamatkan. Kemudian penganiyayan pada
tokoh ulama NU, sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Cicalengka, Bandung, Jawa
Barat, K.H. Umar Basri. Tentu ini berdampak pada pencorengan wajah Indonesia
yang katanya berdasar pada demokrasi yang menjujung tinggi rasa tenggang rasa
ata toleransi.
Puisi Menolak Intoleransi
Dalam sebuah kesempatan di dalam sebah forum seorang
penulis Gunawan Tri Atmodjo penulis buku “Tuhan Tidak Makan Ikan”, memaparkan
bahwasannya sastra sebagai bagian tak terpisahkan dari yang namanya kehidupan
di sosial, khususnya dalam sebuah kehidupan menjaga keharmonisan yang ada atau
biasa kita tahu dengan toleransi. Sastra menurut dia merupakan bagian dari
menjaga toleransi antar warga. “Sastra bisa dimaknai dengan berbagai hal atau
multi tafsir. Jika bisa memahami sastra
yang punya banyak makna, kita juga bisa menghargai perbedaan pendapat seperti kita
menikmati sebuah drama. Dengan sastra juga seseorang dapat menyampaikan sebuah
pesan perdamaian, seperti dalam puisi yang dititiskan oleh seorang sastrawan
besar sekelas W. S. Rendra :
Dengan Kasih Sayang
Dengan kasih sayang
Kita simpan bedil dan kelewang
Punahlah gairah pada darah
.....
Kita yang sering kehabisan cinta untuk
mereka
Cuma membenci yang nampak rompak
Hati tak bisa berpelukan dengan hati
mereka
Terlampau terbatas pada lahiriah masing
pihak
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!
Terhadap sajak yang paling utopis
Bacalah dengan senyuman sabar
...
Dalam puisi di atas disebutkan bahwa
kata “Kasih Sayang” ditujukan untuk memberikan sebuah ruh kebaikan terhadap
sesama. Lalu kata “Kita simpan bedil dan kelewang” agar kita mengesampingkan
ego kita yang biasanaya itu terwuju dalam senjata yang bisa menimbulkan
pertumpahan darah. Kemudian kata “Punahlah gairah pada darah” yakni setiap kita
menyimpan ujaran kebencin itu maka akan sirna segala bentuk keinginan utuk
saling menghilangkan satu sama lain, membunuh dan mencela atau merendahkan satu
sama lain. Ketika semua orang menebarkan kebaikan dengan menebarkan kasih
sayang antar sesama, maka kita akan bertaburan dengan kebaikan pula,
kebaikan-kebaikan akan senantiasa mengelilingi kita karena kehiduan yang aman.
Kemudian pada bait selanjutnya
dijelaskan mengenai,kita tidak diperbolehkan menghakimi seseorang hanya dari
yang nampak saja:
Kita yang sering kehabisan cinta untuk
mereka
Cuma membenci yang nampak rompak
Hati tak bisa berpelukan dengan hati
mereka
Terlampau terbatas pada lahiriah masing
pihak
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!
Di sini
nampak jelas bahwa terkadang seseorang hanya memandang dari lahiriah saja tanpa
memperhitungkan apa-apa yang ada di dalamnya. Padahal setiap orang pasti punya
kesalahan. Jika seseorang hanya dilihat dari pandangan lahiriah saja maka akan
sangat terasa bahwa kejahatan terkadang bisa diluluhkan dengan kelemahlembutan
dan kasih sayang.
Lalu
pada bait berikutnya kita dibawa oleh penyair untuk cerdas dalam membaca suasana,
bersikap arif dan bijaksana:
Terhadap sajak yang pailng utopis
Bacalah dengan senyuman sabar
Dijelaskan pula di sini bahwasannya
kata “sajak yang paling utopis” adalah perumpamaan yang sulit untuk di wujudkan
tapi dengan senyuman sabar, dengan arif serta bijaksana, maka akan dapat diluluhkan
dan dapat diwujudkan kasih sayang.
Puisi berjudul Dengan Kasih Sayang karya
W. S Rendra mengajarkan kita akan sebuah kasih sayang antar sesama. Rendra
bertutur bahwasannya setiap perlakuan buruk tidak mesti harus dibalas dengan
perlakuan buruk juga. Sementara hal yang saat ini marak adalah ujaran kebencian
yang dilakukan dengan gencar-gencarnya wabil khusus melalui media massa, yang
tidak jarang membawa dampak yang besar bagi keadaan psikologi masyarakat,
seakan-akan mereka saling membenci satu sama lain. Pesan yang ingin disampaikan oleh Rendra
adalah mengenai perdamaian. Hadapilah sebuah keburukan dengan kasih sayang,
jangan membalas keburukan dengan kebrukan.
Pada akhirnya
pesan pesan yang disampaikan oleh puisi di atas menegaskan bahwasannya dalam
sebuah perumpamaan bila ditampar pipi kanan maka berikalah pipi kiri. Dalam
agama apapun bahwa ujaran kebencian adalah hal
yang harus dihindari, karena datangnya akan sangat membawa kerugian baik
moril dan materil apalagi sampai terjadinya pertumpahan darah di antara sesama.
Maka dari itu, ujaran ujaran kebencian tidak perlu ada, dan hiduplah dengan
damai sehingga tercipta keadaan negara yang aman dan tentram.
Nia Nur Pratiwi putri dari Bapak Sarwan dan Ibu Mistiyah, lahir di
Banjarnegara, 29 Juni tepat di desa Punggelan. Sekarang sedang menempuh
pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto program studi
Manajemen Pendidikan Islam (MPI) semester 4.
Bergiat di Sekolah Kepenulisan
Sastra Peradaban (SKSP), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Ibrahim
Korkom Ahmad Dahlan IAIN Purwokerto Kepala bidang Riset Pengembangan Keilmuan
(RPK), Director Of Management Division
English Arabic Student Association (EASA), Senat Mahasiswa Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan ( Komisi A), Demisioner Sekretaris Umum Komunitas
Leadership program Studi MPI.
“Berjalanlah dan melukislah jejak-jejak itu, membekaslah
dalam pijakan agar kau tak tumbang dimakan zaman”


Semoga Allah senantiasa menjagamu dalam kebaikan dan kesehatan, sehingga dapat terus kau langkahkan kakimu jauh menyusuri belahan dunia manapun yang kamu inginkan.
BalasHapusSemangat Hutchi ❤