Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya




Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

“Bahwa merayakan pertambahan usia bukan sekadar meniup lilin, tapi menyalakan pelita baru di relung jiwa; merangkul kepingan puzzle yang mulai saling menemukan tempatnya.”

Hari ini, matahari seakan sengaja menyingkap sinarnya lebih lembut. Tidak meledak terang, tidak pula suram—hanya jingga hangat yang membelai pipi. Di atas ladang bunga matahari, seorang anak perempuan muncul dari lipatan kardus ingatan, menenteng satu kotak puzzle yang perlahan mulai lengkap.

Tahun ini terasa sungguh berbeda dari perayaan-perayaan sebelumnya. Tak lagi hanya sekadar doa panjang yang kupintal sendirian di tepi ranjang. Tak hanya sekadar kue ulang tahun dengan lilin kecil, atau bisikan harapan yang sering kali samar. Kini, di puncak usia yang menua bersama rasi Cancer yang sabar, satu demi satu potongan hidup mulai menemukan tempatnya.

Aku menengok ke belakang, mengingat seorang gadis dengan kepangan rambut dan gaun merah jambu, yang bertahun-tahun lalu membongkar kardus hadiah ulang tahun, mendamba hadiah-hadiah kecil dan kata selamat bertumbuh. Gadis itu menanam mimpi di ladang bunga matahari—dan hari ini, di usia yang baru, aku memetik bunga yang dulu kutanam dengan air mata, dengan tekad, dengan letih yang tak terbilang.

Hari ini aku menulis: Aku LULUS S2.
Sebuah mimpi yang sempat kuanyam di antara keping gelas pecah dan rumah roboh. Kini, reruntuhan itu berdiri kembali dengan fondasi yang lebih kokoh—lebih kokoh karena aku belajar meletakkan batu bata pengetahuan dengan tangan sendiri.

Dan di saat matahari bersinar separuh, ia datang:
Seorang lelaki penyusun puzzle, lelaki penunggu danau syurga. Lelaki yang dulu hanya kusebut di catatan-catatan rahasia, yang kerap kuusir dari pikiran karena aku takut ia tak sungguh-sungguh mau menetap. Lelaki yang menata ulang pecahan puzzle di kepalaku, menutup celah retak dengan sabar, membimbing tanganku agar tahu di mana potongan itu seharusnya tinggal.
Ia datang—bukan hanya sebagai cerita singkat, tapi sebagai penanda babak baru.
Ia meminangku di bawah rasi Cancer, menjanjikan penjagaan seperti kepiting kecil pada Hera: setia, gigih, dan rela mati demi cinta yang dijaga.

Kini, Juni pun hadir. Wajah baru, langkah baru, senyum baru. Juni bagaikan pagi yang membasuh luka-luka lama. Bersamanya, setiap bunga matahari yang dulu kutanam tumbuh lebih subur. Bersamanya, setiap puzzle yang pernah kubiarkan tercecer di sudut kardus ingatan perlahan menemukan gambar utuhnya. Aku belajar bahwa hidup adalah sekeping puzzle yang tak pernah tuntas. Tapi dengan lelaki penunggu danau syurga, aku percaya tangan kami berdua akan terus melengkapinya.

Jadi, di hari ulang tahun ini—aku merayakan diriku sendiri yang terlahir kembali dari rahim matahari, merayakan perempuan yang sanggup berdiri setelah gelasnya pecah, merayakan puzzle yang perlahan rampung, merayakan rasi Cancer yang setia berjaga di langit malam.

Aku berterima kasih pada Gala Bunga Matahari yang mempertemukan matahari dengan bunga, pada Sal Priadi yang menulis nada untuk puisi di kepalaku, pada lelaki penunggu danau syurga yang tidak pernah lelah merangkai serpihan hidupku. Dan pada Juni—wajah baru yang kusambut dengan tangan terbuka.

Sebab sejatinya, hari ulang tahun bukan hanya tentang pertambahan angka. Tapi tentang keberanian memeluk luka lama, menata ulang puzzle, dan menanam bunga di ladang hati. Tentang keberanian menengadah ke langit, menatap rasi bintang Cancer, dan berbisik:

“Lihat, aku bertumbuh. Aku utuh. Dan aku akan terus melengkapi kehidupan, bersama doa-doa yang tak pernah padam.”

Selamat ulang tahun untukku.
Selamat datang pada segala wajah baru.
Mari menari di antara bunga matahari, sambil menyusun puzzle, selamanya.


Jakarta, 29 Juni 2025


















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”