Esai #13: Internialisasi Nilai Satra Dalam Pendidikan Karakter di Era Milenilal
Internialisasi Nilai Satra Dalam Pendidikan Karakter di
Era Milenilal
Nia Nur Pratiwi
Nilai-nilai sastra
merupakan hal yang sangat berhubungan dengan dunia masyarakat yang terus
berkembang dari masa awal berdiinya sebuah peradaban sampai sekarang era yang
disebut sebagai era millenial atau juga disebut sebagai era distruptif dimana
semua hal dapat dilakukan dalam genggaman tangan sekalipun, sebagai bentuk atau
perwujudan daripada nilai sastra yang terintegrasi dalam pendidikan, mengapa
demikian? dikarenakan sastra adalah hal yang dapat meluluhkan hati dan perasaan
serta proses kreatif yang menjadikan seseorang dapat menggapai kemapanan hati
dan emosional dalam pembentukkan karakter manusia.
Sastra adalah alat dalam
upaya memperbincangakan mengenai kehidupan dan kemapanan hidup. Membicarakan
mengenai nilai hidup dan kehidupan yang secara tidak langsung mempengaruhi
pembentukkan karakter dan sifat manusia yang berkutat dengan sastra itu
sendiri. Sastra adalah upaya dalam merangsang kecerdasan dalam segala aspek
baik itu aspek afektif, kognitif dan psikomotorik pada manusia yang mempelajari
sastra. maka dengan tiga aspek tersebut yakni afektif, kognitif dan psikomotor
dapat di bentuk kepribadian yang halus dan sembang dalam mengendalikan emosi
yang ada dalam diri, dari beberapa orang yang sudah ditanya bahwa sastra sepakat dalam peran sastra dalam
pembentukkan karakter secara tidak langsung. [1]
Daya imajinasi yang dapat di terapkan
dalam segala aspek atau kreativtas tanpaa batas yang biasa di sajikan dala hal
ini adalah seorang sastrawan, yang mana dia adalah manusia-manusia yang
berkutat pada dunia sastra, biasanya adalah orang memiliki karakter khasa dalam
diri mereka, dengan pembawaan yang biasanya juga memiliki karakter masing
masing.
Pendidikan karakter
sendiri dicetuskan manakala pemerintah merasa bahwa bangsa ini perlu yang
namanya nutrisi dalam berbagai aspek kehidua, yang mana dapat di wujudkan
dengan cara pendidikan karakter mulai dari baerbagai institusi pedidikan
tingkat rendah, hingga tingat perguruan tinggi yakni ingkat Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi. Dikarenakan bangsa Indonesia khusunya
butuh yang namanya asupan karakter yang dapat mendukung cita-cita bangsa yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa[2] dan
mendidik masyarakat yang memiliki karakter mulia.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) “karakter” diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat, kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
Karakter pula dapat disebutkan dengan huruf, angka simbol dan yang lain. Pun
demikian dengan karakter tokoh dalam memerankan karakter di perfilman serta
menyangkut perwatakan pemain. (Depdiknas, 2008: 682). Dalam artian bahwasannya
karakter seseorang dapat berbeda-beda dengan seiring berjalannya dan
berkembangnya sejarah di masa ini, mulai dari perkembangan sosial hingga
kebudayaan, sangatlah berpengaruh sekali terhadapa karakter yang seharusnya
dibentuk kepada bangsa ini. [3]
Karkteristik erat hubungannya dengan
cendikiawan yang memiliki akhlak serta berlimu yang teguh dan kokoh. Mampu
memimpin diri sendiri menuju kapada kemampanan akhlak atau karakter yang
positif di kehidupan sehari-hari. [4] Menjadi
pribadi yang mapan dalam karakter sangatlah diperlukaan karena bangsa ini tidak
hanya buuh manusia cerdasmelainkan dapat berkontribusi dengan baik melalui
inernalisasi karakter yang bisa ditularkan melalui nilai-nilai sastra yang
secara tidak langsung dapat mempengaruhi pembaca.
Bangsa Millenial dalam mempergunakan
media massa, khususnya mereka yang setiap hari tidak bisa terlepas dari benda
bernama gadget, mereka banyak menghabskan waktu berada di dunia semu
bernama internet dan bangsanya semacam social media, yang berupa
instagram, facebook, whatsapp dan media sosial lain sejenis. Dengan begitu
menurut survei yang dilansir oleh media masa harian kompas.com bahwasannya,
populasi pendudukn Indonesia saat ini mencapai
262 juta orang. Lebih dari 50 % atau sekitar 143 juta jiwa telah
terhubung jaringan internet sepanjang 2017, setidaknya begitu menurut laporan
terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). [5] dengan
pengguna sebanya ini apabila di manfaatkan sebagai media yang bisa memasifkan
karya sastra dari seorang penulis, maka akansangat berpotensi seorang peserta
didik dapat menggunakan media ini sebagai media dalam mendapat inspirasi atau
memuatkan kepada media yang akhirnya akan berujung kepada apresiasi terhadap
peserta didik.
Sastra Dalam Pendidikan Karakter
Berbicara sastra tentu tak akan habis dalam
pengolahannya, karena sastra adalah gubahan perasaan yang biasa saja dietiap
waktu menjadi pilihan alternatif untuk menuangkan segala bentuk perasaan dalam
karya. Karya sastra meililiki peran
sebagai pembersih jiwa atau perenungan tentang semesta dan kehidupan yang
agung, tidak hanyaitu filusuf sekelas Aristoteles berpendapat bahwasannya
menyatakan sastra memiliki fungsi salah satunya yakni media katrasis atau
pembersih jiwa bagi serang penulis dan pembaca. Pernyataan ini dapat pula
ditinjau dari beberapa aspek yang dapat dipertanggungjawabkan yakni dengan cara
membaca dan menghasilkan karya berupa sastra yang beraslah dari gubahan
pemikiran apik dari dua sisi yakn pembaca dan penulis, bagi pembaca tentunya
pembersihan jiwa bisa diwujudkan dengan jalan
membaca karya sastra itu sendiri sehingga pikirannya dapat terbuka,
menerima ilmu baru dan mendapatkan hiburan berupa bacaan, sedangkan bagi
penulis adalah mengalami pembersihan jiwa sehingga dapat tercipta hati yang
lapang, terbuka, karena telah berhasil mengekspresikan semua yang membebani
perasaan dan pikirannya. Untuk itulah
sastra memiliki peran yang berpengaruh dalam hidup bagi si pembaca maupun bagi
penulis. Membuka pemikiran bagi pembaca dan membuka cara berpikir bagi si
penulis. Untuk bisa memasifkan karya pun dapat dilakukan dengan internet atau
pemanfaatan teknologi di era millenial.
Sastra dalam hal ini bisa
menjadi sebuah hal yang berarti bagi pembaca
dan penulis, semua hal yang baik maka hal yang semacam ini akan tetap abadi.
llmu sastra yang dipelajari dan dihayati secara baik-baik akan memperhalusbudi,
menjadikan seseorang peka terhadap bagian daripada sebuah bangunan sastra yang
di rekonstruksi secara baik dan kokoh dalam hakikatnya. Bersastra dalam era
millenial bukanlah hanya sekedar mengekspresikan bagian daripada ekspresi batin
dan pemikiran yang berarti dan memiliki nilai estetika lebih dibandingkan orang
yang tak pernah bersastra. Maka era milenial adalah era dimana seseorang bebas
berekspresi dan berimajinasi dengan bebas, namun dengan sastra sudah bisa
dipastikan seseorang yang mengenal sastra dengan baik maka dia akan bisa
memfilter dengan nilai-nilai sastra yang diterapkan dalam hidup sehari hari.
Pendidikan karakter dengan
mengajarkan sastra kepada siswa, akan sangat ampuh dalam memberikan sugesti
bahwasannya karakter bisa dibentuk melalui pengalaman dan pengamalan sastra
yang luar biasa. Dengan menghayati nilai nilai yang ada dalam sastra seperti
tekun, rajin, lembut, tegas dan berbagai nilai-nilai yang kemudian menjadi ciri
khas sebuah karya sasatra yang dapat di tentukan secara baik. Dengan melihat
output dari sebuah sastra yang dihasilkan kita dapat mengetahui karakter
seseorang dan kemudian dapat pla dimasifkan dalamupayan menyebarka motivasi
menulis dengan bantuan komunikasi media sosial yakni dengan akun sosial media
yang mana sebagai perwujudan era milenial.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 2018. Muslim Tanpa Masjid. (Yogyakarta: Diva Press)
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Satra. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar)
Undang-Undang
Dasar 1945
Zuhairini.2004. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara)
Nia Nur Pratiwi lahir di
Banjarnegara, 29 Juni tepat di desa Punggelan. Sekarang sedang menempuh
pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto program studi
Manajemen Pendidikan Islam (MPI) semester 6.Manusia mencari mata air, penyuka akar serabut .


Komentar
Posting Komentar