Catatan Perjalanan #6: Tubuh Adalah Kuburan Bagi Jiwa: Filsafat dan Ketidaktahuan
Catatan Perjalanan #6: TUBUH
ADALAH KUBURAN BAGI
JIWA:
FILSAFAT DAN KETIDAKTAHUAN
Oleh :
Nia Nur Pratiwi
“Kita
adalah orang-orang asing di dunia ini, tubuh adalah kuburan bagi jiwa, akan
tetapi tak seyogyanya kita mencoba membebaskan diri dengan jalan bunuh diri;
sebab kita adalah mlik Tuhan yang merupakan gembala kita, dan tanpa perintahnya
kita tak berhak untuk bebas. Dalam hidup ini ada tiga jenis manusia,
sebagaimana ada tiga macam khalayak yang mengujungi pertandingan Olympiade.
Kelas terendah terdiri dari mereka yang datang untuk membeli dan menjual ,
kelas diatasnya adalah mereka yag bertanding.
Namun yang terbaik dianatara
semuanya adalah mereka yang datang hanya untuk menonton. Penyucian tertinggi di
antara semuanya dengan demikian adalah ilmu pengetahuan yang bebas dari pamrih,
dan manusia yang mengabadikan diri pada bidang itulah, yakni seorang filsuf
sejati, yang paling berhasil membebaskan dirinya dari jentera kelahiran.”
(Phytagoras)
Dalam sejarah manusia tidak hentinya manusia selalu mencari. Mencari
ketenangan dan mencari hakikat dari setiap jiwa. Bagaimana sebuah jiwa seperti
kuburan yang mana mengandung jiwa Tuhan didalamnya. Jiwa Tuhan terkubur
didalamnya dan tubuh kita menjadi penjara bagi jiwa Tuhan yang akan kembali ke
asalnya nanti ketika sudah mengalami penyucian jiwa berkali-kali setelah
berdosa dan akan kembali mengalami penyucian yang ditangguhkan untuk bisa
bertemu dengan sang Kuasa atau Tuhan. Menurut Phytagoras Manusia itu asalnya
Tuhan.
Tuhan masuk kedalam diri –diri manusia, jika manusia itu merupakan jiwa
yang berdosa dari Tuhan, maka manusia
sudah semestinya menjadi jiwa yang harus mensucikan diri dengan cara yang
tergolong nyentrik, bentuk mencucian jiwa ini sebagai manifestasi menyatunya
jiwa Tuhan yang satu. Dalam bagian-bagian yang kecil tersebutlah jiwa –jiwa
yang agung. Ialah manusia yang senantiasa ada dalam keriisauan dan
ketidaktahuan. Apa yang sebenarnya manusia ketahui ? tidak ada sama sekali,
tidak ada yang manusia ketahui daripada sekedar dia adalah makhuk atom yang
sangat kecil dan tidak pernah bisa menyatu kembali dengan molekul semesta bila
ia sudah hancur wujudnya. Maka, ketidaktahuan ini benar-benar menjadi belenggu
yang ingin dilepaskan oleh manusia-manusia yang menginginkan merdeka.
Dalam perjalanan hidup manusia, tidaklah lepas dari berbagai kejadian yang
berkaitan dengan pertanyaan, darimana alam semesta ini muncul, darimana air
yang selalu kita minum , darimana sayur buncis yang kita makan satu pekan
sekali, darimana roti-roti bungkusan siap makan didapatkan dan diproduksi, dari
apa roti itu terbuat dan mengapa kita harus berjalan di jalan yang sudah
disediakan tidak saja berjalan ditengah jalanan besar, jangan menggorek api
dengan besi, jangan memetik bunga sembarangan takut ada yang memiliki mungkin,
janganlah mengangkat periuk langsung dari perapian, jangan sampai membiarkan
walet bersarang diatap rumah, jangan melihat cermin disamping cahaya, Jika kau
tidur jangan lupa, menggulung alas tidur selepas memakainya lalu setelahnya
timbul pertanyaan Mengapa? Bagaimana? dan inilah yang menjadi pertanyaan besar
bagi kalangan manusia yang mencari
cahaya kebijaksanaan.
Apa yang ditemukan dari pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang
wajib dijawab bagi para pengekor aliran ilmuwan matematis yang sangat terkenal
Phytagoras. Berbagai buah pikirnya, hemat saja, menjadi madhzab yang tidak
terpisahkan bagi penganut rasio matematis yang memecahkan teori-teori semesta.
Pernahkah terpikirkan bagaimana alam semesta ini erwujud dan terbentuk dari susunan
segitiga yang saling berpadu, tubuh manusia dari segitiga, alam semesta ini dan
segala bentuknya adalah gabungan segitiga yang agung. Mengapa segitiga yang
agung dapat membentu itu, darimana a²+b²=c²
kemudian membentuk siku-siku pada segitiganya.
Dalam diri manusia ada komponen yang
terbentuk dari segitiga-segitiga bentukan. Coba saja ketika menekuk tangan
sehingga timbulah segitiga siku-siku, kaki ketika duduk bersila juga berbentuk
segitiga, melipat tangan dipinggang juga membentuk siku-siku, sebelum
memnggambar wajah manusia maka biasanya terlebih dahulu menggambar segitiga
agar gambarnya dapat proposional dan dilihat menjadi selaras. Tanpa kita sadari
segalnya ini seakan dibentuk dengan segitiga yang banyak. Banyak hal yang harus
menjadi perenungan kita, tentang pertanyaan-pertanyaan besar yang muncul
dikepala setiap manusia mengenai dirinya sendiri, alam semesta, mengenai
hakikat yang sebenarnya. Bagaimana kita menjadi seorang yang benar-benar
memaknai hakikat hidup yakni hakika ketidaktahuan.
Hakikat akan ketidaktahuan, bagaimana manusia merasa sudah tau sedangkan
sebenarnya tidak ada satupun hal yang diketahui oleh manusia itu sendiri.
Manusia hanya sekedar tau tanpa benar-benar mengetahui hakikat yang sebenarnya.
Disinilah letak keistimewaan manusia diberikan yang akan menjadi keistimewaan
mutlak, yakni akal manusia. Akal inilah yang digunakan untuk berpikir dan
merasio bagaimana ini semua menjadi ada, padahal kata ada itu tidak tau siapa
yang mencipta, hinga kata ada itu tiadapun hakikat manusia adalah berakal ,
pembeda dari hewan dan tumbuhan inilah yang manjadikan manusia dapat berpikir
baik buruknya dan berpikir samapai kepada sebuah capaian yang tinggi.
Ketidaktahuan inilah yang menjadi sebuah landasan atau menjadi pijakan
fundamental bagi tiap-tiap diri manusia unuk turut membangun paradigma
berfilsafat. Berfilsafat dan berkontemplasi pada tataran perenungan yang dalam
dan membangun kearifan pada diri sendiri tentunya sangatlah dianjurkan kepada
seluruh manusia. Filsafat menjembatani aku dan Tuhan dalam berasio, dalam
memikirkan bagaimana aku menjadi ada karena Tuhan yang ada menjadikan ini semua
menjadi ada. Bagaimana keadaan matahari yang menjadi pusat tata surya kita di
tataran Galaksi Bimasakti ini dapat beredar dengan baik diporosnya sendiri dan
menjadi pusat dari kehidupan tata surya sebagai api yang berpijar atau disebut
dengan matahari.
Maka benarlah hakikat kita dikubur dalam tubuh kita sendiri dan menjadi
mati bila akal kita tak digunakan sebagaimana mestinya, terkubur mati tanpa adanya
kesadaran.Terkubur dan terbelenggu dalam kuburan, jiwa-jiwa kebebasan tak dapat
menjalar untuk memikirkan hal-hal yang metafiisik baik itu tentang semesta,
manusia itu sendiri, unsur kehidupn dan hal lain yang benar-benar berhubungan
langsung dengan masyarakat. Sebagaimana tubuh, jiwa juga perlu nutrisi yakni
dengan cara berpikir, berpikir dengan akal dengan rasa dan dengan tingkat rasio
yang baik. Menyadari bahwa manusia tidak mengetahui maka kita dipersilakan
untuk mengusahakan menjadi tau, membongkar segala fragmen yang mealapisi jiwa
manusia yang membatasi pemikiran filsafat.
Keselarasan Filsafat juga sangat baik apabila diiringi rasa ketidaktauan
dan mencoba untuk menjadi tahu, akal yang berdiri daripada kultur untuk
digunakan sebenar-benarnya akal. Agar akal menjadi sebuah jiwa yang bangkit
dari kuburan dan mendobrak sekat antara ketidaktahuan menjadi sebuah metode
untuk berproses menuju Filsafat yang selaras dengan kehidupan manusia. Menuju ketidaktahuan secara terus menerus dan
inilah yang menjadikan kita akan selalu hidup pada jiwa-jiwa yang ada.
Meruntuhkan stigma negatif berfilsafat dan mendekonstruksi makna menjadi
sebuah pencarian cahaya kebijaksanaan dalam hidup, ini lebih menjadikan kita
sebagai manusia sebaiknya karena kita mengetahui bahwa tau dan tidak tau adalah
proses perenungan jua. Maka apabila memilih tau hanya akan menjadikan kita
tamak dan merasa menjadi Tuhan bagi diri sendiri, lebih baik hidup dalam jiwa
ketidaktahuan saja, agar cahaya pengetahuan kemudian muncul terus menesrus dan
tidak redup walaupun masa itu telah tiada, karena pada hakikatnya manusia adaah
makhluk yang di desain untuk mencari, mencari kebijaksanaan dalam rangkaian
berfilsafat.
Perjalanan ini di ambil dari prosesi Baret Merah Nasional Angkatan XX, PC IMM Sukoharjo.
Nia Nur Pratiwi lahir di
Banjarnegara, 29 Juni tepat di desa Punggelan. Sekarang sedang menempuh
pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto program studi
Manajemen Pendidikan Islam (MPI) semester 6.Manusia mencari mata air, penyuka akar serabut .


Komentar
Posting Komentar