Catatan Perjalanan #15: Jam Sebelas Lima Sembilan Malam, Tanggal 28 Dibulan Juni

 




https://www.intime.co.id/



Catatan Perjalanan #20: Jam Sebelas Lima Sembilan Malam, Tanggal 28 Dibulan Juni   

Oleh

Nia Nur Pratiwi

 

“Jikalau pergantian Waktu ditahun baru kau seringkali menyalakan Kembang Api ke Angkasa, Aku Juga ingin Melangitkan Doaku ke Angkasa Malam Nanti tepat pukul 00.00 WIB.”

 

Tiada pernah berpikir sedikitpun sampai waktu saat ini, aku dengan diriku yang lemah ini ternyata Allah kuatkan dengan hadirnya orang-orang hebat di sekitarku. Aku menengadahkan wajah ke angkasa malam ini, ku lihat wajah-wajah orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku bermunculan satu persatu bak dikelilingi oleh Gemini di Barat, Rasi Leo di Ujung Timur, ada Lynx disebelah utara, serta ada Canis Minor dan Rasi Hydra di sebelah Selatan. Aku merasa menjadi kepiting besar yang melayang dilangit yang memiliki 76 bintang, termasuk didalamnya ada 10 bintang yang memiliki planet sendiri, dialah ku ibaratkan seperti orang-orang yang hadir memberi warna dengan ciri khas mereka masing-masing, maksudku lebih dari 76 tapi aku melihatnya akan lebih banyak lagi dari itu beribu-ribu bahkan bermilyar bintang atau bertriliunatau juga sudah tidak dapat terhitung lagi banyaknya bintang yang berkeliling mengintari dengan segala kebaikan yang tak terkira.

Pukul 23:41 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) menunjukan waktu sudah larut malam namun aku tetap terjaga di depan leptop biru ku yang sudah agak renta dimakan usia, sudah hampir 8 tahun dia menemani perjalanan menakjubkan hidupku, tentang perasaan mendalam bahwa suatu hari nanti aku akan mati, orang –orang akan menangis, maka dia yang dapat menghargai betapa senangnya bisa hidup--- Apakah kita akan menikmati hidup tanpa kita menyadari bahwa suatu saat nanti kita akan dibawa oleh Maut ? Namun , sama mustahilnya dengan kita menyadari bahwa nantinya kita harus mati tanpa memikirkan bagaimana menakjubkannya Hidup ini. (Dunia Shopie, hlm. 31)

Setelah aku tertidur pulas karena ketiduran, akhirnya aku terbangun di pukul 02.28 WIB di tanggal 29 Juni 2021, Sebaris sajak yang tercipta dua tahun yang lalu kembali ku download di google drive yang masih terarsip rapih di postingan Instagram dua ahun lalu. Kiranya seperti ini ;

Aku dan Bulan Juni

Nia Nur Pratiwi

 

Aku dan

Bulan Juni menyatu begitudalam

Diantara sajak bulan Juni yang menanti hujan\

Aku dan Bulan

Juni dalam purnama yang kian menyabit

Aku

Dan bulan Juni yang tersenyum simpul menatapku kosong sebab hujan itu rapih

Tersimpan

Pada Bulan Juni

Aku dan mereka menyatu

Padu, bersama air mata haru

 

Purwokerto, 29 Juni 2019  

 

Lagi-lagi kembali ku buka tulisan-tulisan catatan perjalanananku yang sudah menempuh ke garis limabelas, beberapa yang terbit di Blog Pribadiku adalah kurasi dari diriku sendiri, aku bermimpi suatu saat catatan ini akan menjadi catatan terbit dalam bentuk anak kandung lembaran buku yang baunya nikmat sekali, seperti mencium buku baru yang kertasnya berwarna coklat kekuningan. Seperti di catatan sebelumnya, aku belum benar-benar tuntas, masih banyak yang perlu dibenahi dan dihayati keberadaannya dan disyukuri kehadirannya, kutulis kembali makna bulan Juni yang begitu sendu namun syahdu bagi sekalangan orang, termasuk aku--

Aku tak perlu menempuh ekspedisi mati-matian untuk membuktikan suatu saat pasti bulan Juni begitu basah, setelah sebelumnya Juni begitu kering kerontang dengan kemaraunya. Seluruh lapisan langit dan lapisan semesta ini terkoneksi langsung ke kepalaku yang kubawa setiap hari dan kupunya sampai aku mati. Apa-apa yang ada dalam semesta ini ada dalam segenggam kepal besar yang disebut dengan kepala, disana bersemayam banyak pemikiran alam raya yang tidak terjangkau tepinya, apalagi gagasan mudah mengenai Hujan dibulan Juni. Bahkan para penjelajah dan pemimpi macam Nicolaus Copernicus, Battista Dela Porta, Henrik Ibsen, Christian Andersen, dan Lippershey bahkan Jostein Gaarder dalam berbagai buku-buku Filsafatnya ia justeru menciptakan setiap imajinasinya kedalam sebuah temuan alam semesta yang sebenarnya ada di dalam kepalanya sendiri, tidak terkecuali tentang Hujan Bulan Juni atau Bulan Juni yang begitu basah bagiku.    

Tiada henti pula ku ulang kembali tulisan-tulisan ini, ku tulis kembali agar diingat betul, Kembali diputarkan satu adegan masa kecil yang kerap kali mengundang gelak tawa, walau dalam keadaan sendirian, menertawakan diri sendiri dan menangisinya secara bersamaan, adalah realita yang kadang terjadi secara tiba-tiba. Sudah sejauh mana apa yang diperjuangkan, sudah sejauh mana apa yang orang tua kita inginkan. Kalau kata Prof. Dr. Kuntowijoyo “Kerjakan agenda sendiri, hitung-hitunglah dirimu sebelum Engkau dihitung. Menanam padi panen setahun dua kali, tetapi gabah cepat rusak, harganya bisa turun naik, dan habis dikonsumsi. Menanam jati panen rayanya menunggu puluhan tahun, tetapi lebih awet, keras dan kukuh. Tanamlah jati, InsyaaAllah lebih berhasil guna.” Setidaknya kata-kata ini yang selalu ku tulis dihalaman awal buku catatan perjalananku, setiap aku mengganti buku karena isinya sudah penuh, maka kalimat awal yang pasti ku tulis adalah kalimat ini, bagaimana kita mencoba menanam apapun yang nantinya akan berhasil guna diwaktu tua, diperjalanan menuju dewasa dan akhirnya menuju ruang hampa bernama kematian dan melewati ruang-ruang lain dialam yang nanti entah seperti apa bentuknya.    

 Maka ini kali ke dua satu aku mengulang hari yang sama di sekian kalinya, aku berterimakasih kepada seluruh bintang yang hadir tanpa terkecuali, kepada bintang yang masih terang sampai sat ini, maupun bintang yang sudah padam. Aku berterimakasih untuk itu. 

Selamat menjadi debu nantinya...

Selamat mencari tulang punggung       

bagi kalian sang tulang rusuk.....

 


29|06|2021

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”