Catatan Perjalanan #23: Juni, Hari ini Mae Lahir Kembali


 Catatan Perjalanan #23: Juni, Hari ini Mae Lahir Kembali 

oleh: Nia Nur Pratiwi

MAE TELAH MENINGGAL 66 hari lalu. Waktu itu ia berada dalam pangkuanku. Ku pikir setelah ini aku takkan pernah mendengar apa-apa lagi darinya, tapi kini kami sedang bersama-sama menulis buku. 

 

Ini adalah kalimat-kalimat pertama dalam buku tersebut dan akulah yang menuliskannya, tapi Mae akan mendapatkan gilirannya nanti. Dialah yang akan bercerita lebih banyak. Aku tidak yakin seberapa ingatanku mengenai Mae. Sepertinya aku sangat-sangat masih mengingatnya, lekuk tubuhnya,lengking suaranya dan pendek rambutnya yang pasti seukur bahu saja dan selama aku melihatnya sepertinya dia tak pernah berambut panjang. Aku lekat mengingatnya dalam sekerat gambar bernama foto di dalam ponsel pribadiku maupun gambar yang sudah cetak ber pigura. Hal yang paling tak terlupakan diantara hal-hal lain yang juga tak pernah terlupa adalah sepeda seharga Rp150.000,- bergambar Dargon Ball berwarna variasi Biru, Hitam dan Kuning yang ia belikan kepadaku ketika aku ber usia 6 tahun kala itu. Sepeda itu masih ada walaupun sudah terjual di tukang rongsokan, mungkin karena Mae akan tiada jadi sebelum itu barang-barang yang berhubungan lekat kemudian di enyahkan dulu agar tidak terngiang-ngiang, itupun karena unsur ketidaksengajaan, Pae yang menjualnya dengan alasan membersihkan rumah dari barang-barang  yang tidak lagi terpakai. 

Bulan-bulan terakhir itu aku ingat betul Mae sering menceritakan Sepeda 150.000 itu, itu adalah artefak yang sangat bersejarah bagi perjuangan seorang Ibu katanya. Mungkin itu kataku tapi secara tidak langsung itu juga mewakili Mae sepertinya, karena Mae juga sedang disini menulis bersamaku, menemani, yah terdengar horor bukan? Ahaa betul tapi memang seperti itulah, daripada kita mengintip keadaan mae di Barzakh seperti mata-mata yang menyusup ke alam lain, lebih baik menghadirkannya di sini di sampingku. Bulan-bulan itu juga antara Agustus-Desember Mae sedang padat kegiatan di Sekolah tempat ia bekerja.

Sampai dari rangkaian itu adalah kegiatan bertamasya ke Jogja. Padahal ketika dia berpamitan jam 11 malam di waktu keberangkatannya ke Jogja suaranya sudah parau dan Bindeng (seperti suara batuk dan pilek) dan terdengar lelah. Bahkan Voice Note nya masih ku simpan baik di galeri handphoneku yang kerap kali ku putar ulang ketika aku rindu dengan suara Treble yang ceria dan membangkitkan semangat. Tidak lama setelah itu Mae sakit. Dia sakit kurang lebih 2 bulan sampai hari kepulangannya. Selama itu dia khawatir akan meninggal, ku pikir dia juga tahu dia akan meninggal.

 

 

 

…..

 

 

Hujan Bulan Juni 

Sapardi Djoko Damono

 

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

 

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

 

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

 

          Hujan Bulan Juni tahun ini berbeda keadaan biasanya. Tak ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni, sebegitu mudahnya ia (Mae) begitu tabah menjalani kehidupan sampai akhir usia. Cerita-cerita lalu yang seringkali terlintas dibenak ini. Aku seperti menelusuri lorong waktu. Menceritakan ketabahan Bulan Juni dan Dia (Mae) adalah Hujan yang diserap akar sebagaimana menumbuhkan bunga seperti dalam baris akhir sajak Eyang Sapardi Djoko Damono.

 

Mae Bercerita:

             Ketika Nia kecil, dia ingin bermain sepeda, dia meminjam kepada anak lain namun namanya anak-anak pasti merasa tidak ingin miliknya dipunyai orang atau dalam hal ini dipinjam. Kemudian Aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta dalam rangka bekerja untuk membelilkan ku sepeda seharga Rp.150.000 yang sekarang kerangkanya sudah terjual di tukang rongsok. Sepeda bergambar Dragon Ball warna biru kuning hitam yang memiliki roda bantu disamping kanan kirinya. Pekerjaanku di Jakarta menjadi seorang Asisten Rumah Tangga. Aku berharap anak-anakku tidak malu memiliki ibu sepertiku, harapaku adalah mereka sangat bangga kepadaku bahkan. 

 

Waktu itu aku pernah mengatakan kepadamu dengan meneteskan air mata, 

"Mae ora pengin keton sedih, ben sedihe tok pendem dewek, ben wong-wong ngertine mae ceria ora ana apa-apa, mae keton sehat selalu padahal mae sedih banget setiap hari."

(Mae ngga kepengen terlihat sedih, biarlah sedih itu dipendam sendiri, biarlah orang-orang tau mae ceria tidak ada apa-apa, mae terliht sehat selalu, padahal sebenarnya mae sedih setiap hari) 

 

"Kenapa mae nek ditakoni Nia selalu sehat?"

(Kenapa mae kalau nia tanya selalu sehat?)

 

"Mae ora pengin anak-anak mae khawatir, ben anak-anak Mae tenang belajar. Sukses, begja, bahagia ben ora kaya Mae, pontang-panting ngidep 6 tahun dadi tukang bersih-bersih sekolahan, apa bae Mae karo Pae berjuang nggo anak-anak Mae"

(Mae tidak ingin anak-anak mae khawatir, biarlah anak mae tenang belajar, suskes, beruntung, bahagia biar tidak seperti Mae , pontang-panting menjadi pemotong bulu mata palsu 6 tahun jadi tukang bersih-bersih sekolahan, apa saja Mae dan Pae berjuang untuk anak-anak Mae

 

"Mae seneng ko wes bisa Mandiri, tapi adine urung. Mae ora wedi udan, barat dilakoni bali jam pira bae nggo sangu anak-anak mae,"

(Mae seneng kamu sudah mandiri, tapi adikmu belum. Mae tidak takut hujan, angin badai, di lakukan pulang jam berapapun untuk saku anak-anak mae) 

            Seberapapun jarak dan waktunya, kau ada dekat di sini, di hati ini. Aku percaya kau sedang melihatku sebagaimana aku senantiasa merasakan kehadiranmu. Hari ini, mae lahir kembali sore hari ang cerah pada bulan Juni, Mae mewujud hal-hal baik yang ada padaku saat ini, melihat setiap kali betapa aku dan mae menyatu satu padu tak terpisahkan sama sekali. Sekali lagi, Mae lahir kembali.

 


8 Juni 2023 (Hari Kelahiran Mae)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”