Catatan Perjalanan #18: Senja, Kereta, Kopi dan Segelas teh Tawar

 






Catatan Perjalanan #19: Senja, Kereta, Kopi dan Segelas teh Tawar

Oleh

Nia Nur Pratiwi

 

Aku melihat punggungmu, sebegitu mudahnya  menjelma senja, datang kemudian menghilang begitu saja terus berulang ketika malam menjelang. Aku melihatmu seperti sebuah gerbong kereta yang transit di stasiun tempat aku menunggu. Aku melihatmu seperti secangkir kopi yang hitam pekat kemudian didinginkan oleh keadaan. Aku melihatmu seperti segelas teh tawar yang didalamnya hambar tapi tetap terasa. Yang ada aku melihatmu utuh sebagaimana awal perjumpaan kita yang ingatannya tak bekesudahan.

 

PROLOG

Bertemu dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya adalah satu hal yang mungkin terdengar menyakitkan. Bagaimana bila itu terjadi padamu?, seperti mengulang piringan lagu yang rusak dan suaranya sumbang tak terdengar. Kau sebegitu saja menjadi sebuah simfoni yang dawainya belum usai ku petik satu demi satu sehingga belum sampai terdengar melodi yang selaras. Sampai sekarang masih kucari itu, tak apa hanya aku saja yang mendengar, sebab itu nada yang kubuat sendiri tanpa bantuan sesiapa, kau sekalipun.

Rasi bintang kita sama, dibentuk dari angka 69 menyerupai capit kepiting yang menggelantung di langit malam pada bulan pertengahan disetiap tahunnya. Kita juga pernah pada satu titik turbulensi yang sama yakni ditinggalkan. Hanya selisih dua kali dua puluh empat jam yang terpisah tiga kali periode kalender matahari. Berasal dari 90° dan 120° dari tata koordinat langit. Seorang penyair besar Italia dari Abad Pertengahan Akhir Durante degli Alighieri mengisahkan dalam sajak yang ia karang berjudul Paradiso :

Setelah itu cahaya di antara mereka cerah,
Jadi, jika Kanser satu kristal seperti itu,
Musim dingin akan memiliki satu bulan satu hari saja.

— Dante, Paradiso

 

Rasi ini juga dilukisan Giovanni Maria Falconetto pada tahun 1517, dengan judul Kanser. Menurut penafsiranku sajak diatas bercerita tentang keadaan bulan Juni yang berada pada rasi Cancer dan tergambarkan dengan cerah serta musim dingin hanya sebentar, dikatakan sebulan hanyalah sehari saja, namun bukan ini sebenarnya yang menjadi esensi, tapi kita memiliki beberapa kesamaan yang mungkin hanya aku saja yang menyadarinya. Apa kau juga? Ah, kurasa tidak. Biarlah saja, nanti jua akan terasa bila sudah terbiasa, atau bahkan akan dirasa bila sudah tak ada dipandangan mata.

            Senja yang kuceritakan diatas adalah bentukmu yang menjelma sebegitu mudahnya. Beberapa kali kau bercerita tentang senja di ujung pematang diantara petak-petak kolam ikan yang kau beri makan ketika sore menjelang. Aku penasaran betul bagaimana suasananya kala itu, kemudian aku ikutlah denganmu. Ternyata asik sekali. Sembari memesan secangkir kopi dan teh tawar yang dibawa sendiri sambil menenteng pakan ikan diember kecil bekas cat yang berisi setengahnya. Kulihat-lihat dari sepanjang memandang, banyak orang juga melakukan kegiatan mancing ikan selepas panen dari kolam. Aku melepaskan beberapa langkah yang dari satu petak kolam ke petak yang lain. Sembari melepaskan tangan dengan menggenggam pakan ikan.

            Setelah melalui beberapa jalan parit diantara kolam-kolam, kemudian kulihat sebuah batu lalu ku duduk diatasnya. Seketika perbincangan kecil terjalin dan melihat beberapa kereta melaju dengan cepatnya. Aku sangat-sangat tertarik dengan suasana ini. Melihat perlahan temaram langit menampakkan Jingga yang kian meredup, aku sempat memindahkannya di ponselku, yang tanpa sengaja punggungmu ikut terbawa didalamnya, maaf aku agak lancang. Tapi nyatanya ia menjelma menjadi sebuah foto yang bisa jadi memoar dihari yang datang. Bulat-bulat matahari juga seakan-akan perlahan ikut turun. Terciptanya warna langit senja dijelaskan oleh Steve Ackerman, profesor Meteorologi dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat. Ackerman mengatakan, warna-warna Matahari terbenam dihasilkan dari sebuah fenomena yang disebut scattering atau pemendaran cahaya. Fenomena ini terjadi karena molekul dan partikel kecil di atmosfer mengubah arah sinar cahaya Matahari, sehingga menyebabkannya berhamburan atau berpendar di udara. Pemendaran memengaruhi warna cahaya yang datang dari langit, tetapi detailnya ditentukan oleh panjang gelombang cahaya dan ukuran partikel. Prosesnya, "Karena Matahari rendah di cakrawala, sinar matahari melewati lebih banyak udara saat Matahari terbenam dan terbit di pagi hari," jelas Ackerman.

            Namun di sela-sela bola mata menikmati jingganya, selalu saja ada kereta yang datang beberapa menit sekali, mengacaukan konsentrasi, karena jika ingin melihatnya aku harus berbalik badan baru bisa menikmatinya. Namun ini yang menjadi cerita didalamnya, tentang kereta-kereta yang melaju cepat dan suasananya yang begitu menenangkan. Ditemani secangkir kopi dan teh tawar yang dibawa masing-masing.

                                           

(Kereta melaju cepat)

EPILOG

Telaah kusebut beberapa Prolog yang telah lampau. Ini menjadi cerita yang mengawali kisah ini. Tentu akan ada kelanjutannya. Tapi entahlah, jika tiada takdir berkehendak bolehkah aku sedikit mengabadikan dalam tulisan ini, entah kau akan membacanya atau tidak, aku tidaklah peduli. Apabila dalam tulisan ini banyak sekali aku berkata salah dan tak sesuai pada pandanganmu, maka aku mohon maaf. Setidaknya ada hal yang pernah aku tinggalkan dalam kisah yang mungkin belum selesai. Karena bagiku belum ada kata selesai bagi kisah yang bahkan belum dimulai. Bagiku semua cerita yang sudah barulah Prolog yang panjang, akankah kita menaiki gerbong yang sama dengan tujuan akhir yang sama ataukah kita hanya pernah dipertemukan saja pada stasiun yang sama. 

 

 

Terimakasih... telah menjadi inspirasi dalam tulisan ini. Perubahan ke arah baik memang kadang menyebalkan, tapi akan berakhir Indah. Berubahlah jika memang itu baik, jika tidak maka tetaplah menjadi orang yang ku kenal beberapa waktu diawal perjumpaan kita.

See you on top..

           

   

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”