Esai #5: Jangan Kau Kira Petani Tak Punya Daya





Petani, Puisi dan, Marhaenisme

Nia Nur Pratiwi

Sejarah abad ke-18 hingga awal abad ke-20 yang belum lama berlalu, menggambarakan suasana penuh gejolak dan keras. Abad tersebut ada banyak dari negara seberang seperti Cina, Rusia, Vietnam, Indonesia dan negara Amerikan Latin, kaum tani menjadi tonggak awal pergulatan serta perlawanan dalam usaha revolusioner (Sobary,  2018: 138). Bung Karno presiden pertama Republik Indonesia menyebutkan bahwa kaum petani adalah sokoguru revolusi. Pada dasarnya awal dari pernyataan petani adalah sokoguru revolusi adalah pernyataan dari Bung Karno yang berupa generalisasi bahwa petani yang menjadi penggerak revolusi karena bukan hanya negara Indonesia saja, melainkan beberapa negara lain juga sama.
Petani yang biasanaya dianggap bentuk masyarakat yang menerima segala ketentuan hidup atau dalam bahasa lain nrimonan bisa saja menjadi sebuah ”bom waktu” yang akan meledak sebagai massa yang tak terkendali. Jiwa petani barakali bisa disebutkan seperti granat yang siap sewaktu waktu unuk meledakkan waktu, gerakannya dapat saja tak terduga selama beberapa periodesasi waktu. Akan tetapi sejarah juga memiliki penegasan bahwasannya gerakan petani yang seperti itu bisa saja di pelopori oleh kepemimpinan  yang memungkinkan mereka melakukan hal revolusioner. Sebagaimana yang dituliskan sejarawan Kartodirdjo dalam karyanya Pemberontakan Petani Banten 1888.
Massa petani asal Banten tidak akan melakukan perlawanan dan menggalang kekuatan revolusi untuk melawan kalau saja tidak dipelopori oleh roda penggeraknya yaitu kalau saja dunia pesantren, terutama kalangan kyai tarekat yang menawarkan kewibawaan efektif denga jalan membagikan kekuatan yang dipercaya bahwa mereka (kaum marhaen) kebal dengan peluru penjajah sehingga mereka berani menggalang kekuatan untuk bisa melakukan revolusi dalam perlawanan terhadap penjajah.  
Beruntung kita mempunyai tokoh yang kaya akan ungkapan metaforis yang menggambarkan kedaan kaum petani sebagai ungkapan bijak sebagimana posisi Bung Karno sebagai tokoh pergerakan. Kalau tidak mungkin tak mungkin ada ungkapan marhaen yang kemudian menjadi marhaenisme sehingga memiliki kewibawaan dimata politik. Apabila kaum tani tetap dinamakan petani maka siapakah yang akan tergetar di ideologis. Bung Karno mampu menempatkan kaum ini berada pada tataran yang telah mengubah realitas sosiologi dan kemudian menjadi realitas ideologis dengan tidak menghilangkan kenyataan bahwa kaum petani adalah kaum yang teraniaya dalam sejarah. 
            Dalam autobiografinya Soekarno menuliskan kata Marhaen adalah nama dari salah seorang peani yang berada di wilayah Bandung yang ia temui di sebuah Ladang dalam keadaan sedang menggarap lahan pertanian kemudian ia bertanya mengenaimperkakas yang digunakan milik siapa, lahan milik siapa miliknya dan hasil panennya diperuntukan bagi siapa ? bagian ia sendiri, akan tetapi hasil itu hanya bisa cukup ia pergunaan sehari hari saja, hanya untuk makan ia perhari tidak banyak yang bisa ia andalkan dari pekerjaan ini di tambah pada zaman itu terjadi pula praktek imperialisme yang semakin memperburuk keadaan rakyat kecil. Dari sinilah kemudian Soekarno menggambarkan kaum yang lemah dan selalu tertindas.
Penggambaran ini kemudian memunculkan perspektif tentang marhaenisme atau paham yang mengangkat derajat kaum kecil tertindas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Marhaenisme berarti paham yang bertujuan memperjuangkan nasib kaum kecil untuk mendapat kesejahteraan hidup. Marhaen sendiri kemudian tumbuh menjadi julukan bagi “wong cilik” pada era Soeharto, dengan penggambaran yang sama yakni bagi mereka yang tertindas dan lemah. Banyak kalangan yang kemudian mengajukan diri sebagai pihak yang membela kaum tertindas, namun, pada akhirnya tetaplah sama, hanya bualan janji yang sepertinya sangat sulit untuk ditepati.
Seperti yang sudah disebutkan oleh presiden awal bangsa Indoesia yakni Soekarno, bahwa petani adalah sokoguru revolusi, marhaen untuk koloni Pegunungan Kendeng misalnya, daerah Rembang, Jawa Tengah. Mereka kemudian muncul sebagai seorang pemenang dalam persidangan Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016. Mereka memenangkan gugatan perkara melalui Peninjauan Kembali (PK) setelah kalah di persidangan di Pengadilan Negeri Semarang. Mereka melakukan perlawanan dalam sebuah narasi perdamaian dengan menggelar atraksi pertunjukan mengikat kaki cor semen. Mereka berjumlah sembilan orang dengan keseluruhan formasi adalah perempuan. Petani Kendeng ini menginformasi kepada seluruh bangunan ideologi marhaen sebagai sebuah praktik di lapangan.
Penisbahan terhadap mereka kaum yang papa secara struktural, dengan bahasa marhaenisme atau wong cilik. Maka berada dalam barisan kepentingan mereka adalah sbuah keniscayaan. Seperti melakukan aksi penuntutan tentang reformasi agraria yang kemudian berdampak kepada kondisi perkonomian petani. Dalam pahamnya arti marhaenisme sendiri merupakan sebuatan kepada mereka yang sangat rendah kondisi strukturalnya, entah itu dari mereka kaum nelayan, petani, pedagang dan banyak dari jenis-jenis perkerjaan yang memang sangat kecil balasanya. Terlebih lagi kemudian mereka dibebani tanggungjawab berupa hutang yang banyak.

Marhaenisme Dalam Wujud Sastra
            Pembelaan terhadap kaum yang tertindas dapat pula diwujudkan dalam bentuk karya berupa sastra, yang ditulis oleh Sitor Situmorang  merupakan salah satu dari bentuk penyampaian sebuah pesan yang tersirat dalam sebuah puisi atau sajak yang ia tulis. Sitor Situmorang bercerita dalam sajaknya yang berjudul “Kembali Kepada marhaen”.

Kembali Kepada Marhaen

...
Revolusi menjadi proses kehidupan rakyat
Pemimpin lahir- sejak Multatuli
Karena penindasan maka menjadi
Kemerdekaan bangsa berakar kemerdekaan
rakyat.
Kepada Marhaen kembalilah agar selamat
Tuntut dan tuntut dan laksanakan:
Landreform lalu bagi hasi, dewan perusahaan.
Iniah marhaenisme BUNG KARNO.
Dulu dan sekarang dan kemudian
Gerakan kemerdekaan heroik serta hidup-
patriot yang pasrah.
Wahai pemimpin kepada Marhaen – Kembalilah.

Seruan ini tentunya memiliki makna yang jelas ditujukan bagi para pemimpin yang sudah semestinya kembali atau mempedulikan nasib rakyat kecil. Seruan ini tentunya tidaklah akan mati dimakan zaman, selagi rakyat masih ada dan masih merasa tertindas keberadaannya. Dalam baitnya yang berbunyi :
Dulu dan sekarang dan kemudian
Gerakan kemerdekaan heroik serta hidup-
patriot yang pasrah.
Wahai pemimpin kepada Marhaen – Kembalilah.

Dalam sajaknya Sitor berbicara kepada pemimpin untuk kembali kepada hak-hak marhaen. Hak-hak yang digusur oleh kepentingan kelompok tertentu. Sehingga narasi perlawanan kaum marhaen tidaklah akan putus sampai keadilan mengahmpiri kehidupan mereka.





                





Nia Nur Pratiwi, biasa dipanggil Nia. Anak dari pasangan Mistiyah dan Sarwan. Beralamat di Punggelan, kabupaten Banjarnegara. Mahasiswa  prodi MPI-A yang bergiat di Sekolah Kepenulisan 
Sastra Peradaban IAIN Purwokerto. Memiliki karya berjudul “Kain Terakhir” yang sudah diterbitkan dalam buku antologi cerpen Luksia  (Lembaga Pers JUSTISIA UIN Walisongo). No. Hp. 085726009379. Email: nianurpratiwi29@gmail.com. Nomor Rek: 6622-01-028819-53-0 BRI, A.n Nia Nur Pratiwi.

           



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”