Esai #6: Bungkam tak bertuan, Bicara dimatikan





Pers Dua Dekade Pasca Reformasi

Nia Nur Pratiwi

            Dua dekade lalu pengecaman terhadap pemuatan berita yang berbau kritik terhadap Pemerintah akan dituntut bahkan dipenjarkan bila terbukti melakukan pelanggaran. Sebut saja kebebasan berpers merupakan suatu ang amat langka atau jarang dtemukan ketika masa orde baru.Sebagaimana dijelaskan pula oleh beberapa lembaga pers yang tetap memperjuangkan hak hak persnya antara lain Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY) serta Ikadin, yang patut diacungi jempol karena masih berani untuk menghadap permasalahan dengan tetap mengadakan diskusi dan berpendapat. Ini membuktikan bahwasanya menegluarkan pendapat pada saat itu menjadi sebuah hal yang sangat diawasi.
            Pers menjadi sebuah kontrol terhadap kekuasaan. Bahwasannya seseorang dapat melakukan kritik kepada pemerintah dengan lembaga pers. Namun kenyataan yang terjadi pers justru di tangan para penguasa dan mereka yang mencoba mengontrol masyarakat. Ini merupakan salah satu asumsi yang dibuat pada masa itu. Selain menjadi sebuah kontrol, pers juga menjadi satu institusi yang mempunyai jiwa pejuang dan memperjuangankeadilan keadilan. Namun apakah pernyataan ini dapat dipertanggungjawabkan sedemikan benarnya?. Tentu saja butuh kajian mendalam mengenai ini.
            Maka sebab itu apakah sebuah pers dapat dipertanggungjawabkan. Kalauada sejumlah penelitian, pengamatan dalam sebuah observasi yang diadakan untuk meneliti lembaga pers, maka sudah pasti akan ditemukan sebuah gejala kejanggalan dalam pers masa peralihan Reformasi. Banyak wartawan atau pers ternyata tidak melakukan kontrol kekuasaan, mereka dianggap gejala gejala yang bersifat kecelakaan. Asumsi ini menguatkan sejumlah opini, bahwa ternyata per masa itu tak beres. Maka yang salah adalah hal hal diluar pers (faktor eksternal). Tentu ayangpaling banyak menjadi kambing hitam dari ini semua terdapat dalam bentuk SIUPP, SIT, sensor, adanya intimidasi, budaya bertelepon serta masih banyak lagi  hal-hal yang diperselisihkan.
            Mimpi akan sebuah pers yang menjujung tinggi akan adanya  media yang ideal, tidak ada kebohongan dan murni sebagai menyaji informasi tanpa adanya campur tangan dari pihak pihak yang tak bertanggugjawab. Mungkin yang diharapkan tidak melulu sangat sempurna, akan tetapi pers yang ideal dan terpercaya sebagai pewarta yang jujur akan kebenaran dan kenyataan.  Namun, apakah harapan ini dapat terpercaya, sedangkan kebanyakan orang tersajinya warta yang terpercaya adalah sebuah paradigma paradoks saja, dikarenakan kesadaran dini dengan adanya fakta-fakta yang tersaji bahwasannya media kita tidak berfungsi sebagaimana yang diharapan.
            Propaganda media yang tersaji masa dua dekade lalu merupakan hal yang sebenarnya sekarang sedikit demi sedikit telah terkikis. Dua dekade pers yang lalu mengisahkan sebuah kejadian bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 1995 (Heryanto, 2000: 183), masih terasa suasananya hingga beberapa tahun kedepan ini. Kejadian-kejadian apa saja yang sebenarnya mengilhami kekhawatiran masyarakat. Masyarakat merupakan insan pers juga, mereka masih memeiliki sensasi dicabutnya SIUPP yang dialami oleh DeTIK, pers Tempo dan beberapa Editor walaupun beberapa penggantinya sudah muncul.
            Pemahaman yang semacam ini membawa kepada pemahaman masyarakat yang traumatis. Pemahaman akan adanya sebuah pemikiraan serta kekhawatiran akan adanya pengekerutan pada badan ataupun lembaga pers yang berkompeten. Namun, disisi lain pula, menimbulkan pemikiran pemikiran akan perihal terbentuknya pers yang selaras dengan kondisi bangsa ini. Pada masa itu pula, terjadinya pencabutan-pencabutan SIUPP pers yang sedikitnya berjumlah sekitar 30 penerbit media masa yang izin nya telah dicabut pada masa rezim Orde Baru. Terkait dengan ini, hanya bisa diantisipasi dengan pemahaman yang sesuai dan keserasian persepsi antara para pihak yang terlibat dalam kejadian ini.


            Keadaan pers zaman rezim Orde Baru ata u bisa kita sebut sebagai Pra Reformasi merupkan sebuah kecelakaan besar dalam sejarah dua dekade ini, mengapa demikian?. Bisa kita lihat, manusia pers dituntut untuk tidak hanya sebagai penyaji saja, namun lebih dari itu, insan pers dituntut sebagai sebuah mesin industri yang mana, selain meyajikan warta sebagai sajian, mereka juga dituntut untuk melebarkan sayap financial. Tuntutan pengiklanan dalam sebuah media ini akan semakin terasa. Bahkan, sebenaranya ini menjadi hal yang berseberangan dengan tujuan pers itu sendiri, mereka harus bisa mengesampingkan salah satu dari dua hal yang sebenarnya harus diperjuangkan. Mana yang sebenarnya  harus diperjuangkan dan mana yang seharusnya disampingkan.
           
Teknologi Yang Dianak Emaskan
            Sejarah mencatat, dua dekade lalu berbagai lembaga pers, berlomba lomba dalam memperebutkan posisi iklan yang disukai masyarakat. Agar mereka mendapat kedudukan dalam media yang masyarakat inginkan, justru ini yang terkadang menjadi sebuah akar masalah. Pasalnya, mereka tak jarang untuk mengesampingkan nilai yang diagung agungkan para jurnalis profesional, kalau mereka bukan para jurnalis aktivis. Sehingga pembuatan warta yang seringkali dibumbui dengan niat lain, bukan hanya sekedar menyajikan sebuah informasi yang disukai massa, namun lebih dari itu yakni orientasi industri.
            Pasca Orde Baru, kemudian munculah orde Reformasi dengan perjuangan perjuangan yang berdarah. Perjuangan dalam segala kemelutnya mulai dari pembelaan terhadap hak rakyat sampai dengan kebebasan pers yang diperjuangkan. Peristiwa Mei 1998 ini, begitu mengubah tatanan wajah bangsa, bukan hanya wajah bangsa Indonesia saja, namun lebih dari itu dunia pun ada yang mengambil peran sebagai tokoh dalam peristiwa reformasi ini. Peristiwa penggulingan rezim yang dianggap sangat merugikan negara ini, membawa dampak perubahan kearah kebaikan juga.
            Semakin berjalannya zaman, media masa mulai beralih pula kepada teknologi. Khalayak di berikan sajian warta dalam teknologi yang mana ini menyerap lebih banyak perhatian dibandingkan dengan media cetak secara luas. Akibatnya, media masa berupa cetak kalah pamor dengan media berupa elektronik, mungkin nantinya Hari Pers Nasional bisa saja diganti menjadi Hari Elektronik Nasional, atau mungkin ada nama lain yang lebih sesuai dengan keadaan dikedepannya. Ini semua tentu saja kaitannya dengan sejarah, ada kisah yang mendahului ada pula yang mengikutinya.
            Apabila ditengok ke belakang, sudah sangat jelas, bahwasannya pasca reformasi ini pers menjadi sebuah media yang benar-benar mampu menuriti apa kata “Ayah dan Ibunya” yakni para penguasa sebagai yang tak jarang berlaku seperti diktator . Kemudian dari rahimnya keluar modal (uang) sebab lewat keduanya pers bisa lahir dan berkembang seperti anak emas. Tak berhenti sampai disit, Media Elektronik yang kini di anak emaskan merupakan gabungan dari teknologi dan modal yang kemudian menjadi hal yang amat dibanggakan macam anak emas.








                Nia Nur Pratiwi. Prodi Manajemen Pendidikan Islam  IAIN Purwokerto. Kabid. Riset Pengembangan Keilmuwan PK IMM Ibrahim periode 2018/2019. IMM Ahmad Dahlan IAIN Purwokerto. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”