Catatan Perjalanan #26: Semarang: Tidak diketahui keberadaanya

Semarang: Tidak diketahui keberadaanya 
Oleh : Nia Nur Pratiwi

 "Setiap orang bisa mengubah dunia yang monoton menjadi dunia yang penuh kegembiraan dan petualangan." - Irving Wallace


Pagi ini aku berangkat pagi buta, jam 04.00 WIB aku berangkat dari rumah. Aku pulang teman sekamarku tidak tau dan aku berangkat pun sama. Aku merasa keberangkatan ku ke Semarang kali ini tidak perlu banyak orang tau, aku sekarang males dengan omongan orang bla bla bla yang mengatakan ini itu karena aku ingin berkelana. Aku naik kereta Kamandaka berangkat pukul 05.00 WIB dari Stasiun Purwokerto. Sebelumnya aku menitipkan motor di penitipan motor, alasannya karena bila pulang nanti aku tidak merepotkan siapapun dan tidak mengganggu tidur siapapun, aku bebas tanpa harus terbebani dengan peran orang lain. Aku naik kereta tanpa tergesa-gesa tudak seperti biasanya, asik sebenarnya seperti ini. Aku naik kereta pantura kedua kalinya, apakah nanti akan menemui pantai di sisi kereta? Tentu saja iya, tapi apakah di sisiku atau disisi yang lain aku tidak tau. Aku sangat berbahagia, melihat matahari terbit dari Timur dan cahayanya menembus kaca kereta serta mengenai wajahku

Aku makan jajan bekal dari rumah, dua buah jajan yang ku beli ketika makan sop kaki kambing di Pasar manis kemarin berasama kawan asrama Hayati namanya, kebetulan beli dari anak kecil yang menjualnya, aku iba dan akhirnya membelilah. Aku akan sampai pukul 09.22 WIB kalau yang tertera di dalam tiket.  Playlist setiaku adalah Tulus, ia selalu menemai perjalanan ku dari dulu, walaupun sampai sekarang belum pernah sama sekali menonton konsernya, mungkin lain kali waktu mempertahankan momentum aku bertemu Tulus dan karya-karyanya yang senantiasa menemani petualangan ku. Ketika sampai di Pemalang aku bertemu dengan dua orang, mungkin mereka adalah sepasang ibu dan anak yang akan melakukan Kemo therapy, aku melihat effort seorang anak kepada ibunya dengan segala kasih sayangnya, aku menangis, sedak dada ini terasa,. sembari ku putar lagu umay sahab berjudul Perayaan Mati Rasa, rasnya menemani sakit seorang ibu dan sampai ajalnya adalah perayaan yang benar-benar membuat mati rasa. 

Aku sampai di Semarang Tawang, setelah itu aku melakukan bersih-bersih karena pagi tadi tidak mandi, ini juga ngga mandi hanya cuci muka dan gosok gigi, biarlah namanya juga perjalanan wkwk.
Lalu ku tunaikan Sholat Dhuha di Mushola khusus perempuan, asiknya disini mushola laki-laki dan perempuan di pisah. Selesai itu aku memesan Maxim menuju kota lama aku makan sate buntel di depan kota lama, asik sekali seperti sedang solo traveling.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”