Catatan Perjalanan #27: Bercermin Pada Masa Lalu

 



Catatan Perjalanan #27: Bercermin Pada Masa Lalu

 

"Lakukan perjalanan cukup jauh, kamu bertemu dengan dirimu sendiri." - David Mitchell

 

Kali ini menjadi sebuah perjalanan yang ku ingat. Kami berangkat pukul 10an karena janjian jam 9 tapi ternyata perjalanan bertambah lama karena suatu hal yang tidak bisa disebutkan dalam ruang ini. Aku akan membagikan beberapa hal tentang kita eh bukan, maksudnya tentang kita semua di dunia ini. Cerita di mulai, hari ini adalah hari dimana tokoh-tokoh besar berkumpul dan memproklamirkan sebuah pesan bernama Proklamasi. Singkatnya hari ini adalah tanggal 17 Agustus 2023, yang mana setiap tanggal ini pasti diperingati sebagai hari kelahiran bangsa Indonesia, bangsa yang sampai saat ini masih terus berkembang dan kembangnya semoga bukan kembang pasir melainkan kembang-kembangan yang harum baunya, yang indah bentuknya serta yang bermanfaat bagi sekitarnya karena menghasilkan nektar yang bisa dijadikan madu.

            Aku berencana melakukan wisata sejarah hari ini, sebagaii bentuk napak tillas perjalanan bangsa yang besar, katanya Bangsa Yang Besar adalah Bangsa yang menghargai sejarahnya atau sering disingkat dengan JAS MERAH (Jangan sekali-kali kamu melupakan sejarah) tepat sekali, aku tidak pernah melupakan sejarah kok, apalagi dengan mu :D (Bercanda). Aku kali ini berniat mengunjungi salah satu benteng di lepas pantai Teluk Penyu di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Harga tiket masuk diawali dari lewat pantai sekitar 15.000,- kemudian masuk Benteng Pendem senilai 7.500,- untuk setiap orang. Benteng Pendem atau Kusbatterij op de Landtong te Tjilatjap, merupakan benteng pertahanan milik pemerintah Hindia Belanda. Benteng Pendem terletak di tepi pantai Cilacap, Jawa Tengah.

Sebelum benteng ini dibangun, pada waktu itu sebuah kapal Inggris Royal George pernah singgah di Pulau Nusakambangan hanya untuk mengambil air, hal ini membuat Belanda khawatir jika sewaktu-waktu ada serangan musuh. Maka dari itu, pemerintah Hindia Belanda membangun markas di tepi pantai Cilacap. Selain itu juga, untuk menangkal pihak-pihak lain yang berusaha menguasai kota Cilacap, Benteng Pendem dibangun karena menurut pemerintah Hindia Belanda, kota Cilacap memiliki letak geografis yang strategis dan cocok untuk dijadikan kota pelabuhan. Di mana menjadi sebuah kota pelabuhan sebagai pintu gerbang jalur perekonomian dari wilayah Banyumas ke Kerajaan Belanda. Masyarakat Jawa menyebut Benteng Kusbatterij op de Landtong te Tjilatjap dengan sebutan benteng “pendem” karena letak benteng yang terpendam atau tertimbun dengan tanah.

Kami masuk dengan bahagia dan riang gembira, walaupun keberangkatan sempat diguyur gerimis deras berkali-kali, na’asnya aku tidak membawa mantel maupun sendal, yang akhirnya aku harus memakai mantel bersama, untung saja mantel tersebut memiliki tipe kelelawar. Awal berangkat sembari menunggu hujan reda di salah satu daerah kami behenti makan bubur kacang hijau dengan ketan hitam bersamaan dengan itu di pasar juga sedang ada lomba karaoke ibu-ibu pedagang di pasar. Sungguh kebahagiaan yang jelas sekali di wajah mereka, walaupun dengan lelahnya bekerja, mereka tetap mau untuk menyemarakkan panjang umurnya kebaikan bangsa Indonesia ke 78 tahun.

Kami melanjutan perjalanan, cek cuaca di kota sebelah tempat dimana kami akan kesana. Cuaca terang, tapi agak mendung memang, dan benar perjalanan kami lanjutkan dan kemudian kami diguyur gerimis sendu di perjalanan. Mantel kami pakai dan perjalanan tetap dilanjutkan, dan lucunya hujan hanya mengguyur berapa meter saja, selebihnya tidak, begitu seterusnya sampai kami tiba di kompleks pantai teluk penyu dan masuk dengan tiket seharga 15.000/orang, harusnya kita bisa mengajak warlok dan dibebasbayarkan ahaha bercanda.

Tujuan utama kami adalah berwisata sambil nostalgia di Benteng Pendem cilacap. Mengunjungi benteng pendem membayar 7500/orang, harga yang sangat murahuntuk kenangan-kenangan yang tak terlupakan. Mengunjungi benteng pendem aku seperti ditarik mundur oleh waktu, menyusup jauh menelusuri puing-puing ingatan yang tersisa sudah 19 tahun yang lalu.

 

Kembali ke 19 Tahun yang Lalu

            Aku mengingat betul-betul dan lekat-lekat bagaimana ketika aku berusia 5 tahun berkunjung ke tempat ini. Tempat dimana aku bersama Budhe ku bertamasya selepas perpisahan di sekolahku dulu. Ya, aku TK berusia 4 tahun dan aku lulus dari TK berusia 5 tahun, mungkin jika sekarang tidak akan diperbolehkan. Namun, dulu aku seakan biasa saja, bahkan ketika Almarhmah Ibuku meminta aku untuk tidak perlu naik kelas Guruku mengatakan “Anak ini sudah bisa menangkap mata pelajaran, jadi harus di naikkan ke kelas 1, kalau tidak nanti dia tertinggal dengan teman-temanya.”Akhirya aku naik kelas dengan usia belia.

            Tapi bukan perihal usia, namun kenangannya. Waktu itu aku harusnya bisa bertamasya bersama Ibuku, akan tetapi Ibu ku dulu harus berada di Jakarta untuk menjadi seorang Asisten Rumah Tangga (ART) agar apa? Aga bisa membelikan aku sepeda. Sepeda yang diperoleh Ibuku selama 3 bulan bekerja di Jakarta seharga 150.000 berwarnan Biru dengan roda bantu dan bergambar Dragon Ball, bukan seberapa harganya tapi bagaimaa perjuangan mendapatkannya. Berdarah-darah dan penuh air mata. Bahkan aku menuliskannya ini dengan berlinang air mata pula. Entahlah, aku menulis ini di salah satu kedai es krim berwarna merah di salah satu daerah dekat Underpass di Purwokerto. Aku ingat betul betapa berbinanya mataku ketika itu, hari pertama ibuku pulang membawa sepeda aku diantar ke Sekolah, pada saat itu aku masih kelas 1. Tapi aku diantar berjalan kaki. Aku ingat betul betapa aku sangat bersenang hati.

            Benteng pendem dan kenangannya. Ketika itu aku mengenakan baju berwarna tosca, pink dan coklat bargaris. Baju itu ada boneka kecil di lehernya berwarna coklat, sepertinya fotonya hilang ketika aku berfoto di depan kapal di pantai teluk penyu. Namun, kenangannya aku tiada pernah bisa melupa.

            “Kurasa jalan ini dulu kecil, kenapa sekarang jadi melebar?”Tanyaku kepada seseorang yang membersamai pada saat itu.

            “Aku seperti me re-call semua memori itu, dulu aku tak bisa masuk,”

            “Kenapa?”Tanya dia.

            “Karena kita dulu anak-anak TK kecil-kecil jadi tak boleh masuk, sedangkan air sedang menggenang di dalamnya.” Aku mencoba menjelaskan kepadanya.

            “Sekarang sudah bisa kan?”
            “Iya, sudah.”

            Kemudian kami melaju ke arah penjara di depan, terlihat sgerombolan rusa yang sedang berada di antara tumpukan sampah yang menggunung dan ironisnya, mereka makan sampah plastik, sterofoam dan sampah yang tidak terurai lainnya. Aku merasa ini perlu diabadikan dan kemudian di laporkan kepada pihak berwajib. Tapi entahlah rasanaya seperti kurang pas saja, di area konservasi kenapa Rusa makan sampah. Sungguh kasihan meraka. Aku tak bisa menahan air mata. Kemudian hari menuju siang namu hujan turun. Akhirnya kai memutuskan untuk menuju pinggir pantai teluk penyu dan menikmati cumi-cumi pedas. Sungguh hal yang jarang sekali aku lakukan. Kita berjalan menyusuri pantai melalui semen yang ditata menuju laut. Aku heran betul kenapa mereka bisa berjalan tanpa ada rasa takut, padahal aku berjalan dengan gemetar dan takut kalau nant tiba-tiba terjatuh. Itu di kepalaku.

            Namun, akhirnya belum samapi di tengah, aku memutuskan untuk menghentikan perjalanan menuju laut dan melihat bapak-bapak sedang memancing ikan. Sebuah pemandangan yang juga jarang ku mengerti. Aku duduk berdua disana dan berbicara tentang kehidupan. Mengalir sampai akhirnya pukul 17.00 pun tiba. Aku harus pulang untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku dengannya pulang, dan mengakhiri hari ini dengan mengulang memori. Terimakasih telah membawaku pada kenangan waktu lampau. Aku seperti bercermin ke dalam diriku sendiri. Aku dan diri ini sedangkan kau dengan dirimu. Aku tidak tau dengan semesta, apakah ia se iya atau tidak lagi ingin berkata-kata dan dengan sendirinya mengakhirkan kita berdua.

 

Tjilajap, Agustus 2023

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”