Catatan Perjalanan #33: Bapak Penjual Buku Panduan Sholat


Catatan Perjalanan #33: Bapak Penjual Buku Panduan Sholat

Langit Purwokerto sudah menggelap ketika aku melangkah masuk ke Pasar Manis. Hiruk-pikuk masih terasa; suara pedagang menawarkan dagangan, orang-orang bercengkerama, dan aroma makanan yang menggoda. Aku berjalan menuju warung sop kaki kambing langgananku, memilih duduk di pojokan dekat tembok.

Di sebelahku, dua orang pria muda berbicara dengan logat yang tidak asing—mungkin mahasiswa dari daerah Blokag Wetan. Mereka sibuk membahas sesuatu, entah tugas kuliah atau rencana akhir pekan. Di sisi lain, ada sepasang laki-laki dan perempuan, bisa jadi pasangan kekasih atau suami istri. Mereka makan dengan tenang, sesekali saling tersenyum di antara sendok dan suapan.

Aku menikmati sop kaki kambing yang tersaji panas di hadapanku. Kuahnya kental, dengan aroma rempah yang kuat. Aku menyeruput perlahan, menikmati kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuh. Sambil makan, aku memperhatikan sekitar. Ada keluarga yang sibuk mengurus balita mereka yang tampak semrawut—anak kecil yang rewel, makanan yang hampir tumpah, dan orang tua yang berusaha mengendalikan situasi. Di sudut lain, pengunjung lain tampak asyik menyantap makanan tanpa peduli sekelilingnya.

Selesai makan, aku membayar dan melangkah keluar dari pasar. Udara malam terasa lebih sejuk setelah berada di tengah keramaian pasar yang hangat. Saat berjalan pulang, aku bertemu dua teman sekelasku dulu. Mereka kini sudah menikah, tampak bahagia dengan kehidupan barunya. Kami berbincang sebentar, saling bertanya kabar, lalu berpisah dengan senyum.

Di persimpangan jalan, aku melihat bapak penjual buku bekas yang sering aku datangi. Beliau duduk di atas tikar, dikelilingi tumpukan buku dengan sampul yang mulai pudar. Aku menghampirinya, melihat-lihat koleksi yang ada. Mataku tertuju pada sebuah buku panduan sholat yang terlihat menarik. Aku membelinya tanpa banyak berpikir, merogoh dompet dan memberikan uang lebih. Sang bapak mengembalikan uang kembalian, tapi aku mengisyaratkan agar beliau menyimpannya.

"Terima kasih banyak, Nak. Semoga rezekimu lancar dan hidupmu berkah," katanya dengan senyum tulus.

Aku mengangguk dan tersenyum. Ada kehangatan yang berbeda dalam doa itu—sebuah harapan yang dilontarkan dengan ketulusan. Aku melanjutkan langkah menuju rumah, membawa perasaan yang hangat di hati. Malam ini sederhana, tapi penuh makna.

Alhamdulillah.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”