Catatan Perjalanan #21: Kamu Percaya? Hari Lahir Itu Membawa Karakternya Masing-Masing ?
Artefak #1: Kamu Percaya Hari Lahir Itu Membawa
Karakternya Masing-Masing??
“Mencoba
merayu semesta dan membuatnya menjadi beredar di sisi kita”
-unknown-
“Mau ngopi ?”
“Boleee..”, kataku
“Otw..”
Beberapa menit kemudian
dering telfon dari handphone ku,
“Aku udah sampai di
depan.”
“Okedeh,”
Kemudian
roda motor bergulir searah dengan jarum jam menuju tempat di dekat SPBU salah
satu daerah Purwokerto. Sayangnya angkringan langgananmu tidak buka. Padahal
kadang ingin sekali aku menempati ruangmu yang kau pakai ketika sendiri.
Seperti biasa, jalanmu pelan dengan cerita trauma mu yang pernah jatuh dari
motor. Akhirnya kita menemukan satu tempat di pertigaan. Tempat yang strategis.
Seringkali aku mengingat banyak tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Angkringan
mana dan tempat makan yang mana yang seringkali kita datangi. Tempat-tempat itu
selalu membawa memorinya masing-masing, tentang kopi dan teh tawar hangat yang
selalu kita suguhkan berdua. Bilangnya ngopi ujungnya beli teh tawar hangat,
itulah aku.
"Siapa yang tahu ke
mana perginya waktu?" - Nina Simone. Setiap jengkal detiknya
aku tidak sama sekali melewatkan pandanganku. Aku memberikan atensi kepada
wajahmu dan ekspresi yang kau keluarkan.
Aku mendengar betul-betul setiapkata yang kau lontarkan, bahkan beberapa kesal
serapah kau tentang ceritamu aku hafal betul intonasi dan ekspresi wajahmu.
Alis mengangkat dan memegang dagu serta menyeruput kopi dan kemudian
menyemburkan asap rokok dari rokok yang ada. 2-3 jam seperti baru sepersekian
detik. "Setiap pikiran memiliki "cakrawala" yang berbeda-beda.
Waktu bergerak sesuai dengan cara kita mengantisipasi cakrawala ini."
Ketika Kita benar-benar asyik dengan sesuatu, otak mengantisipasi
"gambaran besar" dan melihat baik cakrawala dekat maupun jauh, yang
membuat waktu seolah berlalu begitu saja, kata Shadlen. Tapi saat Anda bosan,
Anda mengantisipasi cakrawala yang lebih dekat seperti akhir kalimat, bukan
akhir cerita; cakrawala ini tidak bersatu secara keseluruhan, dan waktu terus
berjalan.
Menurut
sebuah studi baru dari sepasang ilmuwan di University of California, Berkeley,
neuron sensitif waktu di otak kita menjadi "lelah" dari tugas-tugas
tertentu, akibatnya persepsi kita tentang waktu berubah. Menurut penelitian,
yang diterbitkan dalam Journal of Neuroscience, neuron di bagian 'supramarginal
gyrus' otak, yang memproses sentuhan dan ucapan, menjadi lelah ketika berulang
kali terpapar rangsangan dalam durasi yang tetap. Namun, karena neuron di
bagian lain otak terus bekerja seperti biasa, persepsi kita tentang
waktu pun bergeser. Itulah sebabnya waktu bersamamu selalu saja terasa
cepat, karena neuron positi terproduksi dengan baik.
Pembicaraan
yang mungkin pernah kau sampaikan belum menjadi membosankan karena kau
mengulangnya dengan prolog dan epilog yang berbeda. Aku memesan teh tawar
hangat, dua tusuk sate usus dan satu tusuk bakso bakar, sedangkan kau seperti
biasa, secangkir kopi dan beberapa batang rokok. Kau menoleh kekanan dan
menepuk telapak tanganmu ke lantai mengisyaratkan aku untuk duduk di sebelahmu.
Lalu aku duduk di depan ruko dan menyandarkan punggung di temboknya. Lalu aku
turun satu lantai dan kau pun mengikutinya, serta mencondongkan badanmu ke
arahku. Aku menjadi pendengar dan
penanya bagimu saat itu. Aku menyukai hal ini, sangat-sangat menyenangkan menurutku,
aku bahkan menjadi orang yang pendiam saat itu karena mendengarmu bercerita dan
mengiginkan kau menceritakan banyak hal apapun tentangmu.
Angkiran
pertigaan adalah saksi cerita itu. Kau menceritakan akan wisuda, menceritakan
ACC skripsimu dan lain sebagainya. Aku tertegun dan menjadi pendengar. Saat
pulang, kemudian kau bertanya.
“Kamu percaya, kalau hari
lahir atau bahkan bulan kelahiran membawa karakternya masing masing ?”
“Emang kenapa? Cocokologi
aja mungkin,”
“Biasanya orang yang lahir
di Hari Kamis itu orang yang kaya angin ngga bisa diem.”
“Hah masa si,?”
“Seperti
Kamu kan?”
“Iyaa, aku bukan orang yang betah untuk diam.”
“Aku
Jum’at, “
“Terus
artinya apa ?”
“Orangnya
lebih tenang aja pembawaannya.”
Lalu kita sampai dan pembicaraan pada karakter terhenti
di depan pemberhentian itu.
“Termasuk
wajah, bentuk bibir, kuku itu ada artinya.”
“Hah
masa si,”
“Engga
lah, itu ngga perlu dibahas lagi si. Daah ya, terimakasih”
“Sama-sama.”
Sejak saat itu, entah hari apapun aku mencoba mengingat
hari dimana kisah kita terlahir ke dunia. Kisah yang tiada pernah di duga.
Namun sepertinya sekarang menjadi biasa saja.
Purwokerto, 13
Maret 2023
Nia Nur Pratiwi

Komentar
Posting Komentar