Catatan Perjalanan #9: Bulan Juni Yang Basah






Catatan Perjalanan #9: Bulan Juni Yang Basah

Oleh
Nia Nur Pratiwi

“Bulan Juni yang biasanya kering, Tepat dua dekade ini begitu Basah.”

Dua belas bulan dalam setahun, ada satu bulan ditengah-tengah yang begitu basah semejak dua dekade ini. Ia dieja dari empat huruf yang menopang kokoh namun sendu. Sebuah catatan menuliskan banyak orang-orang besar yang turun bersama air di bulan yang merupakan pertengahan dalam setahun ini. Musim panas biasanya dilalui oleh banyak sekali faktor, seperti angin muson Timur dan bulan yang memang seharusnya kering menurut perhitungan kalender. Juni menjelma menjadi begitu basah setiap tahunnya bagiku. Setiap kali aku melafalkan syair Sapardi Djoko Damono berjudul “Hujan Bulan Juni”, kadangkala ini seperti membaca seluruh cerpen karya Alberto Moravia berjudul “Lelucon Musim Panas” kemudian dihadapakan kepada kawan-kawanku yang mendengarkannya.
“Mana ada Hujan Bulan Juni ?”, kawan-kawanku biasanya bertanya sambil terkekeh meledek.
“Ada, pasti. Bagiku setiap Juni begitu dalam airnya turun kepadaku, walau itu tak nampak bagimu. Lihat saja, suatu saat kau akan menyaksikan betapa Juni begitu basah bagi setiap orang yang merasakannya. Buktinya ada puisi itu, artinya mungkin ada hujan di bulan Juni, walaupun itu tersirat bagi sekalangan orang saja, atau memang Hujan Bulan Juni hanya ada bagi mereka penikmat hujan dimusim kemarau.” Jawabku dengan yakin, seyakin-yakinnya.
“Setelahnya apakah kau akan tau, bagaimana Juni bekerja bagimu?”, seorang kawan dari balik pintu menjawab kembali apa yang menjadi jawabanku.
“Ya. Tentu Juni akan memberikan jawabannya padaku.”
Pada dasarnya memang Juni begitu basah, aku mengartikan basah bukan berarti itu akan basah kuyup seperti kau masuk kedalam air yang tingginya melebihi tinggimu atau juga air yang akan membasahi sekujur tubuhmu dangan merata tanpa tersisa satu centipun yang kering. Justeru keringnya ia ada di sana, di atas sana menembus cakrawala dan sampai tiada ujungnya. Kadangkala Aku membayangkan sebuah bintang-bintang yang berputar mengelilingi pusat massa pada konstelasi berbentuk layangan dilangit sebelah utara, dimana bintang yang paling besar dalam konstelasi ini bernama Capella, dan itulah aku, yang berdiri di sebuah tempat yang tinggi di belahan bumi utara dan sebelah utara belahan bumi selatan yang mencapai titik puncaknya pada bulan Juni. Di sana aku memberikan sajak petuah kepada diriku sendiri untuk tetap menjadi basah walau sudah begitu kering.     
Mimpi-mimpi yang tidak tidur itu senantiasa ku tuliskan pada  kertas-kertas langit, entah itu langit pagi, siang, sore, senja, mentari terbit atau langit malam sekalipun yang gulita nian mencekam ditengah hitam. Bagiku harapan-harapan yang turun bersama basah bulan Juni tak ubahnya seperti bangkit dari penebas akar banar dan pencabut rumput rumpun menjadi pemilik pohon yang siap memanen buah disuatu masa yang akan datang.
Aku tak perlu menempuh ekspedisi mati-matian untuk membuktikan suatu saat pasti bulan Juni begitu basah, setelah sebelumnya Juni begitu kering kerontang dengan kemaraunya. Seluruh lapisan langit dan lapisan semesta ini terkoneksi langsung ke kepalaku yang kubawa setiap hari dan kupunya sampai aku mati. Apa-apa yang ada dalam semesta ini ada dalam segenggam kepal besar yang disebut dengan kepala, disana bersemayam banyak pemikiran alam raya yang tidak terjangkau tepinya, apalagi gagasan mudah mengenai Hujan dibulan Juni. Bahkan para penjelajah dan pemimpi macam Nicolaus Copernicus, Battista Dela Porta, Henrik Ibsen, Christian Andersen, dan Lippershey bahkan Jostein Gaarder dalam berbagai buku-buku Filsafatnya ia justeru menciptakan setiap imajinasinya kedalam sebuah temuan alam semesta yang sebenarnya ada di dalam kepalanya sendiri, tidak terkecuali tentang Hujan Bulan Juni atau Bulan Juni yang begitu basah bagiku.    
Seringkali gumpalan-gumpalan kabut tebal juga turut membersamai bulan Juniku. Kemudian kabut tebal itu mencair dan membentuk rintik-rintik hujan yang berasal dari lapisan paling tinggi pada jagat raya ini, melebihi dari apa yang kita tahu tentang lapisan langit mulai dari ianosfer menembus lapisan ozon dan sampai pada stratosfer, berbulan-bulan ia melayang-layang di angkasa kemudian sampai pada waktunya ia turun dari Tahta Langit Tertinggi diperintah oleh Sang Pemilik Arasy, disanalah segala hiperbol, metafor dan segala yang tidak mungkin bertahta menjadi Mungkin se- Mungkin-mungkinya diatas Takhta-Nya. Ia mengalir, mencair macam anak sungai yang airnya mengalir deras menuju muara segala anak cabang Ilmu pengetahuan dan kebijkasanaan dalam hidup, disanalah bertumbuh pohon kehidupan yang mencatat, sesiapa yang akan jatuh daunnya atau yang akan tumbuh daunnya, disanalah, di Lauhul Mahfuz.
Allah Azza Wa Jalla selalu memberikan takdir kepada orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberikan cahaya bagi sekkelilingnya, memberikan penerangan yang nyata tanpa rekayasa semata.
 Tidak jarang, kawan-kawanku menganggap ini hal yang paradoks, bagaimana tidak ? Juni yang seyogyanya menjadi surga musim panas dan waktu yang tepat untuk makan rujak setiap hari disiang bolong malah menjadi bulan yang basah menurutku, bukankah ini terdengar sangat konyol ? Ya, tentu saja sangat konyol bagi kalian, tidak bagiku.
Segala basah kuyup keringat Ibu ketika pertama kali mendengar tangisanku di dunia, segala peluh yang membasahi rambut terurainya ketika mengejankanku sebelum akhirnya aku dapat menghirup nafas semesta, segala basah bajunya ketika ia harus memberikan air susunya untukku, kemudian basah keringat Ayah dalam menghidupiku, basah kakinya, badannya kehujanan untuk memberi sesuap nasi kepadaku, basah kuyup kasih sayang yang diberikan keduanya kepadaku dan sederet banyaknya hujan di bulan Juni menurutku yang sangat berarti.
Hingga bagiku aku tumbuh menjadi jalinan akar yang berusaha untuk kokoh walau berbentuk serabut rumpun yang terlihat lemah namun berarti, terpilin halus, merambat naik, menjadi batang dan daun yang terus menerus membelit kedasar bumi tetapi tak saling melanggar, antara siapa ? antara aku dan Sang Pencipta.
Hari-hari biasa yang cukup terik, pagi menjelang siang yang kering namun basah di bulan Juni. Sebelum aku berangkat ke kampus, kuselesaikan tugas Deadline presentasi nanti sore, ah, memang begini rasanya bekerja dengan menunda, seringkali menjadi boomerang yang datang dikemudian waktu, melempari dengan keras apa-apa yang tidak semestinya terjadi ketika semua berjalan dengan rapih. Sudah cukup aku mengerjaknnya, seperti biasa, lagu Hujan Bulan Juni gubahan Puisi Sapardi Djoko Damoo yang di aransemen menjadi sebuah lagu yang bagus dinyanyikan oleh suara khas Gaitsa Kenang dan menjadi soundtrack film novel Hujan Bulan Juni yang dibintangi Adipati Dolken menjadi favoritku kala mengerjakan tugas, apalagi saat-saat bulan Juni tiba.
Suara keras dari kamar sebelah meneriakan dengan lantang. Sungguh suara yang selalu kudengar setiap aku memutar ulang lagu ini sampai seharian.
“Ya Allah.... udah berapa kali kamu muter lagu ini, Cuma punya lagu satu yah ?” sambil berteriak.
“Kan lagi suka, emangnya ngga boleh,”
“Boleh banget suka, tapi kalau mau dengerin pake headset ya biar yang lain engga bosenn denger lagumu yang Cuma diputar satu, itu sampai kita hafal betul liriknya, dan di menit berapa lagu itu nanti akan berakhir.”
“Ya, ya, ya, kalian jadi hafal kan lama-lama, bagus loh buat latihan jadi anak indie,” aku mencoba membalasnya dengan nada bercanda.
“Anak Indi home biar Wifi gratis? atau anak Indiego biar bisa liat yang tidak kasat mata, Ah, sudahlah terserah kau apa yang kau mau, nanti kalau udah ngga bulan Juni juga berhenti sendiri,”
“Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni....” aku menyanyikan sebaris lagu dalam syair Sapardi dengan nada semauku.
Hujan seringkali mengumpulkan beribu-ribu kata yang siap meluncur untuk menjadi puisi, ada yang mendadak galau,ada yang mendadak bersemangat, ada yang tiba-tiba tertidur pulas, dan ada yang pergi bermain air di bawah guyuran hujan. Hujan dibulan Juni ini berbeda dari sebelumnya, ada banyak belahan bumi yang basah benar sampai-sampai disana banjir. Namun, Hujan dibulan Juni juga menjelma bagi sekumpulan kupu-kupu yang selesai mengatur dirinya dalam jangkan waktu berhari-hari di metamorfosisnya yang telah diatur dengan sangat apik oleh Sang Pencipta, tepat di halaman yang sudah ditentukan di Lauhul Mahfudz saat mereka masih berbulu mengerikan kemudian menggulung di pucuk daun pisang dan merubah dirinya menjadi sosok yang sangat cantik yakni kupu-kupu yang bisa terbang, dan bukan kupu-kupu yang lumpuh.
Inilah saatnya, kupu-kupu saling reuni selepas hujan, ia terbang kesana-kemari menikmati udara pagi, siang, sore bahkan malam hari, apakah kiranya kupu-kupu itu tidur ? entahlah, belum pernah aku melihat seeokor kupu-kupu tidur tergeletak dipingger dipan dan membaringkan tubuhnya dengan santai dengan kaki dikepang sambil mendengkur. Adanya adalah ia senantiasa terbang mencari sari madu dan membantu bunga dalam penyerbukan, walau awalnya dia adalah seekor ulat yang mengerikan, namun ia mampu mengubah dirinya menjadi kupu-kupu.
Kembali lagi kepada dekade Hujan dibulan Juni, maafkan aku mungkin membuat paradoks yang meniru, saat nya ku buktikan Bulan Juni itu Hujan. Kemudian di tepat Juni Dua Dekade aku hidup, Juni diawali dengan hujan sepanjang hari, bahkan seperti biasa, hujan di belahan pijakanku dan tidak hujan dibelahan pijakan yang lain. Aku bersyukur tandanya pijakanku adalah suatu keberkahan, karena ada Hujan yang diturunkan oleh-Nya. Ditambah dengan suasana mendung bulan-bulan sebelum bulan Juni, kemudian menjadikan Juni juga basah, namun tidak begitu kuyup, Alhamdulillah sebelumnya sudah kubelikan payung untuk diriku sendiri, katanya sedia payung sebelum hujan, maka ku praktekan, alhasil bisa mengurangi basah kuyup yang lebat di bulan Juni, namun bagaimanapun Juni masih begitu basah.
“Aku membuktikan, Juni akhir-akhir ini menjadi begitu basah?” ujarku pada seorang kawan.
“Ya, kalau begitu aku baru percaya, kalau bulan berjemur bagi si kulit putih akan turun hujan pula, dan lebat juga.” jawabnya.
“Ya,”
 Begitulah terkadang, cuaca saat ini sudah tidak lagi menentu, maka persiapkan sebaiknya untuk Juni yang akan datang, untuk titik tertinggi dari binar-binar cahaya bintang dan bulan pertengahan pada kalender matahari.

SUDAH CUKUP BASAH DIBULAN JUNI INI.

Nia Nur Pratiwi, Mahasiswa smt 7 IAIN Purwokerto pada program studi Manajemen Pendidikan Islam. Eamil: nianurpratiwi29@gmail.com



             

Komentar

  1. Juni pertamaku diisi ujan2 an... setelah selesai dengan hujan sambat malamnya... siang menjelang soreku bersama rintik sedu ...di jalanan saezu :v hujan bulan juni menabrak helmku... tiba2 dr balik pintu abah...
    "... bocah oyos oyosan apayah... mbok sakit..."
    :")

    BalasHapus
  2. Juni pertamaku diisi ujan2 an... setelah selesai dengan hujan sambat malamnya... siang menjelang soreku bersama rintik sedu ...di jalanan saezu :v hujan bulan juni menabrak helmku... tiba2 dr balik pintu abah...
    "... bocah oyos oyosan apayah... mbok sakit..."
    :")

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Perjalanan #32: Lelaki Penyusun Puzzle

Catatan Perjalanan #34: Matahari Senja dan Puzzle nya

Catatan Perjalanan #29: Menghadiri “Gala Bunga Matahari”